Gaza (ANTARA) - Seiring meningkatnya mediasi untuk mencapai gencatan senjata yang langgeng di Jalur Gaza, banyak warga Palestina menyatakan harapan bahwa upaya diplomatik saat ini akan menghasilkan perdamaian yang berkelanjutan dan bantuan bagi masyarakat yang terdampak perang.
Mohammed Abu Hajar, seorang warga Gaza City berusia 50 tahun, baru-baru ini kembali ke lingkungan tempat tinggalnya di Tal al-Hawa.
Dia mengatakan kepada Xinhua bahwa bagi banyak orang di Gaza, perdamaian merupakan akhir dari permusuhan dan kesempatan untuk membangun kembali kehidupan mereka.
"Sebelum konflik, saya bekerja di sebuah studio fotografi kecil. Sekarang, tidak ada yang tersisa, hanya beton-beton yang rusak dan peralatan yang hancur," ujar ayah tujuh anak itu.
"Seperti halnya orang-orang yang mengalami konflik, warga Palestina menginginkan stabilitas dan kehidupan yang normal," lanjutnya.
Abu Hajar yakin bahwa perdamaian bukan hanya tentang ketiadaan kekerasan, melainkan juga pemulihan hak-hak dasar dan layanan.
Abu Hajar menambahkan bahwa perdamaian yang adil harus mencakup pengakuan atas hak-hak rakyat Palestina untuk hidup secara bermartabat.
"Jika perdamaian yang sesungguhnya terwujud, yakni perdamaian yang didasarkan pada keadilan dan hukum internasional, hal itu akan signifikan bagi kami semua. Saya mendukung inisiatif apa pun yang menghormati hak-hak kami dan memungkinkan kami untuk hidup sebagai manusia," tuturnya.
Sementara Sameh al-Rafati, seorang pria berusia 45 tahun dari Gaza City, mengungkapkan hal yang sama.
"Ketika kami berbicara tentang perdamaian, yang kami maksud adalah kemampuan untuk menyekolahkan anak-anak kami tanpa rasa takut, pergi ke pasar tanpa mendengar suara drone di atas kepala, dan berobat ke rumah sakit yang dilengkapi obat-obatan dan dokter," kata dia.
Sebagai ayah dari enam orang anak dan mantan pegawai negeri, al-Rafati tinggal di tempat penampungan yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama tiga bulan setelah rumahnya hancur akibat serangan udara.
"Anak-anak saya belum tidur di tempat tidur mereka sendiri selama berpekan-pekan. Kami tinggal di sebuah ruang kelas bersama tiga keluarga lainnya," kata al-Rafati.
"Orang-orang di sini merasa terkuras, baik secara fisik, emosional, maupun finansial. Kami lelah berulang kali harus kehilangan segalanya lagi dan lagi," imbuhnya.
"Ada dahaga yang nyata akan perdamaian. Tidak hanya gencatan senjata sementara, tetapi perdamaian yang memungkinkan kami untuk kembali ke rumah, membangun kembali, dan hidup dengan bermartabat," lanjutnya.
Al-Rafati juga menyatakan keprihatinannya atas respons masyarakat internasional.
"Diamnya dunia lebih keras daripada suara bom. Kami mendengar berbagai pernyataan dari kota-kota yang jauh, tetapi kami hanya melihat sedikit tindakan yang membantu meringankan penderitaan kami," ujar dia.
Dia menekankan perlunya kepemimpinan yang memprioritaskan kebutuhan masyarakat.
"Kami membutuhkan para pemimpin untuk berbicara demi rakyat, pemimpin yang mengerti bagaimana rasanya harus mengantre untuk mendapatkan air bersih, atau khawatir apakah anak mereka akan bisa makan esok hari," kata al-Rafati.
Kesaksian-kesaksian tersebut muncul di tengah serangkaian aktivitas diplomatik baru yang melibatkan Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat, yang berusaha menengahi perundingan gencatan senjata jangka panjang antara Israel dan Hamas.
Seorang pejabat senior Hamas, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan kepada Xinhua pada Kamis (24/4) bahwa sebuah delegasi dari gerakan tersebut sedang bersiap untuk melakukan perjalanan ke Kairo pada Jumat (25/4) untuk berdiskusi tentang inisiatif gencatan senjata.
"Hamas fleksibel dan bersedia untuk terlibat dalam semua upaya yang bertujuan untuk membawa perdamaian dan ketenangan bagi rakyat Gaza," kata pejabat itu.
Dia menambahkan bahwa "sikap ini bukan berarti Hamas akan begitu saja menerima proposal Israel yang berpotensi memicu pecahnya kembali permusuhan."
Saat ini, kedua belah pihak masih terpecah dalam isu-isu utama, termasuk tuntutan Hamas untuk mengakhiri perang secara menyeluruh dan desakan Israel tentang pelucutan senjata Hamas sebagai syaratnya.
Sejak 7 Oktober 2023, Jalur Gaza, rumah bagi lebih dari 2,2 juta orang, menjadi sasaran kampanye militer Israel secara besar-besaran, yang diluncurkan sebagai balasan atas serangan mendadak yang dilakukan oleh Hamas terhadap masyarakat Israel di dekat Gaza.
Serangan udara dan operasi darat Israel telah menyebabkan kerusakan meluas di seluruh Gaza.
Otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Kamis melaporkan bahwa 51.355 warga Palestina telah tewas, sementara 117.248 lainnya luka-luka sejak meletusnya konflik tersebut.
Pewarta: Xinhua
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2025