Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi XII DPR Bambang Haryadi menyatakan tidak ada skema oplosan dalam proses bahan bakar minyak (BBM) Pertamina, serta menegaskan bahwa blending dan oplosan merupakan dua skema yang berbeda.
“Ini harus digarisbawahi. Nggak ada itu skema oplosan. Itu nggak ada. Skema blending itu betul. Kita harus bedakan skema blending dengan oplosan,” ucap Bambang Haryadi ketika melakukan sidak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina di Jakarta, Kamis.
Bambang menjelaskan perbedaan antara blending dengan oplosan. Skema oplosan, kata dia, apabila bensin dicampur dengan minyak tanah atau cairan lainnya, yang kemudian mengubah kualitas bensin menjadi lebih buruk.
“Itu oplosan. Sedangkan semua jenis bensin itu pasti di-blending. Mau di kilang pun akan di-blending,” kata Bambang.
Selaras dengan Bambang, Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung Tutuka Ariadji menyatakan bahwa blending merupakan proses yang biasa dilakukan di kilang untuk mendapatkan produk spesifikasi tertentu.
“Dalam hal mendapatkan Pertalite RON 90, misalnya, Low Octane Mogas Component (LOMC) diblending dengan High Octane Mogas Component (HOMC),” ucap eks Dirjen Migas itu ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Kamis.
Hal serupa juga sudah ditegaskan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menyatakan bahwa skema blending bahan bakar minyak (BBM) tidak menyalahi aturan selama spek atau kualitas bahan bakar yang diproduksi sesuai dengan standar yang berlaku.
“Boleh (blending) sebenarnya, selama kualitasnya, speknya sama,” ucap Bahlil ketika ditemui di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Rabu (26/2).
Pernyataan tersebut merespons keresahan masyarakat akibat ramainya pemberitaan terkait BBM jenis Pertalite yang dioplos menjadi Pertamax.
Kejaksaan Agung menyatakan bahwa dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92, padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 atau lebih rendah.
RON 90 tersebut kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi RON 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.
Kabar tersebut menyusul pengungkapan dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023. Kasus tersebut diduga menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun.
Atas hal tersebut, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menyampaikan bahwa produk Pertamax, jenis BBM dengan angka oktan (research octane number/RON) 92, dan seluruh produk Pertamina lainnya, telah memenuhi standar dan spesifikasi, yang ditentukan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM.
Simon menjelaskan produk BBM Pertamina secara berkala dilakukan pengujian dan diawasi secara ketat oleh Kementerian ESDM melalui Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (Lemigas).
Baca juga: Komisi XII: BBM Pertamina yang beredar sudah disertifikasi Lemigas
Baca juga: Dirut Pertamina tegaskan kualitas Pertamax sesuai standar
Baca juga: Komisi VI DPR agendakan rapat bahas isu oplos Pertalite jadi Pertamax
Baca juga: Bahlil: "Blending" BBM tak menyalahi aturan selama "speknya" sesuai
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025