Jakarta (ANTARA) - Pernahkah Anda bertemu dengan orang Maluku yang memiliki marga Van Houten? Kemudian bertanya-tanya, mengapa ada nama bernuansa Eropa di antara masyarakat Maluku yang terkenal dengan akar budayanya yang kuat.
Rupanya marga Van Houten bukan marga asli Maluku. Nama marga ini muncul akibat pengaruh sejarah panjang pertemuan antara masyarakat lokal Maluku dan bangsa Eropa, khususnya Belanda.
Marga atau dalam istilah Maluku dikenal sebagai fam, yang berasal dari kata familienam dalam bahasa Belanda, merupakan nama marga keluarga yang disematkan setelah nama depan seseorang.
Sistem penamaan ini bersifat patrilineal, artinya nama marga keluarga yang diambil dari garis keturunan ayah.
Masyarakat Maluku memiliki beragam fam yang terbentuk dari berbagai latar belakang. Ada yang dipengaruhi oleh agama, status sosial, profesi, hingga hubungan dengan komunitas tertentu.
Selain itu, pertemuan masyarakat Maluku dengan bangsa asing seperti Belanda, Portugis, Spanyol, Arab, dan Tionghoa juga meninggalkan jejak dalam nama marga keluarga yang berunsur bahasa asing.
Baca juga: Maluku kini bidik medali emas PON Bela Diri dari karate dan wushu
Salah satu di antaranya adalah fam Van Houten. Meskipun banyak digunakan oleh masyarakat Maluku, marga ini diketahui berasal dari percampuran budaya karena perkawinan antara penduduk lokal dan bangsa Belanda pada abad ke-16 hingga ke-17.
Perkawinan tersebut terjadi pada masa kejayaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), maskapai dagang Belanda di Hindia Timur.
Saat itu, Maluku dikenal sebagai wilayah penghasil rempah-rempah seperti pala, cengkih, dan fuli, hingga menjadi komoditas berharga yang menarik perhatian bangsa-bangsa luar.
Kemudian, rempah-rempah tersebut dijual ke Malaka, India, Arab, hingga Eropa. Karena eksistensinya sebagai wilayah penghasil, Maluku pun didatangi oleh Portugis, disusul oleh Belanda dan negara lainnya.
Kedatangan bangsa Portugis dan Belanda ke Maluku pun membawa banyak perubahan, terutama dalam garis keturunan.
Selain perdagangan, interaksi sosial pun terjadi. Beberapa orang-orang pedagang, pelaut, dan tentara Eropa ada yang menikah dengan wanita lokal Maluku.
Dari hubungan perkawinan tersebut, lahir keturunan Indo-Eropa yang mewarisi nama marga keluarga Belanda dari orangtua laki-laki, seperti Van Houten.
Seiring waktu, berlanjut anak laki-laki keturunan Indo-Eropa menikah dengan wanita masyarakat lokal dan melahirkan generasi baru dengan budaya dan adat Maluku.
Baca juga: Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda datangi KPK bahas skor MCSP
Mereka pun tetap membawa identitas nama marga keluarga bercorak Eropa dan seterusnya diwariskan kembali ke keturunannya sampai saat ini.
Selain Van Houten, ada pula beberapa fam Maluku lain yang memiliki akar dari Belanda seperti Van Afflen, Van Room, De Wanna, Ramschie, dan Gaspers.
Dari pengaruh Portugis muncul marga De Lima, De Fretes, De Zousa, Da Costa, dan Fareire. Sementara, pengaruh Spanyol melahirkan nama-nama marga seperti De Jesus, Rodrigues, Diaz, dan Olivera.
Bahkan, pengaruh Arab pun terlihat dalam daftar marga keluarga Maluku seperti Assagaf, Al-Idrus, A-Mahdali, Al-Katiri, hingga Basalama.
Beragamnya marga di Maluku menjadi bukti bahwa adanya percampuran budaya lokal dan luar dalam sejarah Indonesia.
Marga tidak hanya berfungsi sebagai identitas keluarga, tetapi juga menjadi simbol warisan sosial dan budaya yang menunjukkan perjalanan panjang para leluhur, serta nilai-nilai yang terus dijaga hingga generasi sekarang.
Baca juga: Mendikdasmen: Transparansi dana BOS di Ambon fondasi mutu pendidikan
Baca juga: Mendiktisaintek dorong Unpatti jadi penggerak ekonomi di Maluku
Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































