Vaksin TBC: antara kepentingan global dan kemandirian nasional

5 hours ago 4

Jakarta (ANTARA) - Vaksin bukan hanya berfungsi sebagai alat kesehatan masyarakat, melainkan juga sebagai instrumen kekuasaan dan pengaruh, terutama di percaturan geopolitik global yang semakin kompleks.

Sejarah distribusi vaksin menunjukkan bahwa negara-negara dengan kapasitas produksi dan inovasi tinggi seringkali memegang kendali atas akses dan distribusi vaksin, menciptakan ketimpangan yang signifikan antara negara maju dan berkembang. Fenomena ini menyoroti pentingnya kemandirian dalam produksi dan distribusi vaksin bagi negara-negara seperti Indonesia, bukan hanya untuk memastikan kesehatan warganya, melainkan juga untuk memperkuat posisi tawar dalam arena internasional.

Dengan mengembangkan kapasitas produksi vaksin sendiri, Indonesia bukan hanya memenuhi kebutuhan domestik, melainkan juga berkontribusi pada stabilitas kesehatan regional dan global, serta mengurangi ketergantungan pada kekuatan asing yang dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan nasional.

Langkah menuju kemandirian ini mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan dinamika kekuasaan global dan memastikan bahwa prinsip keadilan dan solidaritas menjadi dasar dalam penanganan tantangan kesehatan bersama.

Indonesia saat ini sedang berada di persimpangan penting dalam upaya menanggulangi tuberkulosis (TBC), penyakit infeksi yang masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Dengan jumlah kasus tertinggi kedua di dunia setelah India, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengendalikan epidemi ini.

Data tahun 2025 menunjukkan bahwa terdapat 1,06 juta kasus aktif dan 134.000 kematian akibat TBC setiap tahunnya. Angka kematian akibat TBC mencapai 14 orang per jam. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, distribusi kasus lebih mencerminkan kesenjangan berbasis gender dan kelompok usia, dengan 496 ribu kasus pada laki-laki, 359 ribu perempuan, dan 135 ribu anak.

Keberhasilan pengobatan TBC resistan obat (TBRO) di Indonesia masih jauh dari target global WHO sebesar 80 persen. Data tahun 2022 menunjukkan tingkat keberhasilan pengobatan TBRO hanya mencapai 51 persen, lebih rendah dari klaim sebelumnya sebesar 58 persen. Program pengobatan TBC sensitif obat (TBC SO) relatif lebih sukses, dengan tingkat keberhasilan mencapai 85 persen pada tahun 2022, mendekati target WHO sebesar 90 persen. Namun, stigma sosial masih menjadi penghalang utama; sebagian besar pasien memilih menyembunyikan statusnya karena takut dikucilkan.

Vaksin BCG: perlindungan terbatas

Vaksin Bacillus Calmette-Guérin (BCG), yang telah digunakan selama lebih dari satu abad, tetap menjadi bagian dari program imunisasi dasar di Indonesia. Vaksin ini terbukti efektif dalam melindungi anak-anak dari bentuk TBC berat, tetapi efektivitasnya pada remaja dan dewasa sangat terbatas.

WHO menyatakan bahwa BCG tidak direkomendasikan untuk orang dewasa karena efektivitasnya yang rendah dalam mencegah TBC paru pada kelompok usia tersebut.

Vaksin M72/AS01E yang dikembangkan oleh GlaxoSmithKline dan didanai oleh Gates Foundation tengah menjalani uji klinis fase 3 di Indonesia. Uji klinis ini melibatkan 20 ribu partisipan dan menjadi bagian dari studi global yang mencakup lima negara, yaitu Afrika Selatan, Kenya, Malawi, Zambia, dan Indonesia.

Data awal menunjukkan efektivitas vaksin ini mencapai 50 persen dalam mencegah perkembangan TBC aktif pada individu dengan infeksi laten selama tiga tahun. Asumsi bahwa vaksin ini mampu mengaktifkan makrofag melalui jalur sitokin belum terbukti secara klinis. Sementara itu, proyeksi peluncuran vaksin ini diperkirakan pada 2028, lebih cepat dari prediksi sebelumnya.

Peran Gates Foundation dalam mendanai uji klinis vaksin TBC di Indonesia tidak bisa diabaikan. Namun, keberhasilan jangka panjang bergantung pada kemandirian produksi vaksin nasional.

Bio Farma, produsen vaksin terbesar di Asia Tenggara, berpotensi menjadi ujung tombak produksi vaksin TBC berbasis protein rekombinan jika uji klinis M72/AS01E berhasil. Kolaborasi Bio Farma dengan Gates Foundation dan pemerintah Indonesia menjadi langkah strategis untuk memastikan akses vaksin yang merata di Indonesia.

Meski teknologi mRNA terbukti efektif untuk COVID-19, pengembangan teknologi vaksin mRNA dan CRISPR untuk TBC belum menjadi prioritas riset di Indonesia. Fokus pengembangan masih berada pada vaksin berbasis protein rekombinan seperti M72/AS01E. Langkah strategis selanjutnya adalah memperkuat riset lokal melalui kolaborasi universitas dan lembaga penelitian, mengingat tantangan biaya dan infrastruktur produksi vaksin mRNA dan CRISPR.

Eliminasi TBC 2030

Di bawah pemerintahan Prabowo, program eliminasi TBC menjadi salah satu prioritas nasional melalui integrasi vaksinasi TBC dalam Program Cek Kesehatan Gratis (CKG). Pemerintah juga mulai mengalokasikan Dana Desa untuk program skrining, dukungan nutrisi, dan rehabilitasi rumah pasien TBC. Kampanye berbasis komunitas menjadi fokus utama untuk mengurangi diskriminasi terhadap pasien TBC menjadi fokus utama dalam strategi nasional. Hal itu juga meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya tatalaksana dini.

Perjuangan Indonesia dalam mengatasi TBC adalah perjalanan panjang yang memerlukan sinergi antara riset lokal, dukungan filantropi global, dan strategi nasional yang efektif.

Gates Foundation mungkin menjadi katalis bagi pengembangan vaksin baru, tetapi keberhasilan jangka panjang tetap ditentukan oleh kemandirian riset, peningkatan kapasitas produksi vaksin dalam negeri, dan penguatan sistem kesehatan berbasis komunitas.

Dengan kolaborasi yang efektif, eliminasi TBC pada tahun 2030 bukanlah sekadar angan-angan, tetapi target yang dapat diimplementasikan.

*) Dokter Dito Anurogo, M.Sc., Ph.D., alumnus IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen FKIK Unismuh Makassar, peneliti di Institut Molekul Indonesia

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |