Jakarta (ANTARA) - Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi luar biasa dalam sektor kelautan dan perikanan.
Dengan garis pantai sepanjang lebih dari 99 ribu km dan keanekaragaman hayati laut yang melimpah, maka potensi sektor kelautan dan perikanan Indonesia sangat besar serta dapat menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.
Tantangan global, termasuk tarif perdagangan internasional seperti pemberlakuan tarif impor 32 persen oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap produk-produk Indonesia, menegaskan pentingnya memperkuat ketahanan ekonomi dan pangan dari dalam negeri.
Salah satu strategi untuk menjawab tantangan ini adalah dengan mengembangkan ekonomi biru dan pangan biru, serta mengintegrasikannya ke dalam program strategis nasional seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto.
Pengembangan ekonomi biru dan pangan biru merupakan suatu potensi yang belum tergarap maksimal. Ekonomi biru diartikan sebagai upaya pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata pencaharian, dan penciptaan lapangan kerja, sambil menjaga kesehatan ekosistem laut.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi ekonomi biru (blue economy) Indonesia mencapai 1,33 miliar dolar AS per tahun. Ini setara dengan lebih dari Rp20 triliun per tahun dan mampu menyerap 45 juta lapangan kerja, terutama melalui sektor perikanan budidaya dan kampung perikanan berbasis komoditas lokal. Namun, tantangan seperti overfishing, polusi, degradasi lingkungan, dan perubahan iklim mengancam keberlanjutan sektor ini.
Pangan biru mengacu pada sumber pangan yang berasal dari laut seperti ikan, rumput laut, kerang, dan mikroalga yang memiliki kandungan gizi tinggi serta berperan dalam pengentasan malnutrisi. Berdasarkan data dari Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2021, ikan dan hasil laut lainnya merupakan sumber protein utama bagi lebih dari 3 miliar orang di dunia.
Di Indonesia, komoditas seperti tongkol, kembung, dan lele menjadi bagian dari konsumsi harian masyarakat. Sayangnya, potensi ini belum dikelola secara maksimal dan berkelanjutan akibat keterbatasan kebijakan, teknologi, maupun infrastruktur.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah meluncurkan Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia 2023 yang bertujuan untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045 melalui pengembangan sektor kelautan yang berkelanjutan.
Dalam menghadapi tekanan global seperti kebijakan tarif impor Trump, Program MBG menjadi momentum penting untuk memperkuat ketahanan pangan dari dalam negeri. Program ini menargetkan 83 juta penerima manfaat, termasuk anak sekolah dan ibu hamil, hingga tahun 2029.
Lebih dari sekadar penyediaan makanan gratis, MBG adalah investasi negara untuk membangun generasi sehat dan produktif dan merupakan wujud nyata investasi negara dalam membangun generasi yang lebih berkualitas.
Yang menarik, MBG bisa menjadi salah satu alternatif program penggerak ekonomi lokal, terutama di daerah pesisir. Dengan melibatkan nelayan, UMKM perikanan, dan pengolah hasil laut dalam pengadaan bahan baku MBG, program ini berpotensi menciptakan lapangan kerja baru dan menggerakkan roda ekonomi desa sehingga diharapkan dapat memperkuat kemandirian ekonomi desa pesisir.
Jika bahan pangan MBG bersumber dari laut, maka selain menekan angka stunting, kita juga memperkuat industri perikanan nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap impor pangan, membuka peluang baru dalam sektor pariwisata bahari, energi terbarukan, dan konservasi laut
Selain itu, penggunaan hasil laut yang ramah lingkungan akan menjaga keseimbangan ekosistem laut dan mendorong praktik perikanan yang berkelanjutan merupakan faktor pendorong utama dalam mengembangkan ekonomi biru dan pangan biru di Indonesia.
Adanya integrasi ekonomi biru dengan Program MBG diharapkan dapat menjadi strategi efektif untuk mencapai kedaulatan pangan dan ketahanan ekonomi nasional. Contohnya, akuakultur berkelanjutan bisa menjadi penyedia utama protein hewani bergizi untuk MBG. Inovasi seperti tepung ikan, susu ikan, atau makanan laut berbasis rumput laut dapat menjadi alternatif bergizi yang terjangkau dan ramah lingkungan.
Dengan demikian, program ini tidak hanya menjawab masalah malnutrisi, tetapi juga menjadi strategi adaptif terhadap tekanan global seperti kebijakan perdagangan internasional. Ketika pasar ekspor terganggu akibat tarif tinggi dari negara besar, Indonesia tetap dapat bertahan dengan memperkuat konsumsi dalam negeri berbasis hasil laut sendiri.
Untuk memastikan keberhasilan integrasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan ekonomi biru, maka dapat dilakukan beberapa langkah strategis yang terencana dan terkoordinasi.
Pertama, penguatan infrastruktur menjadi hal yang sangat penting. Hal ini meliputi pembangunan fasilitas penyimpanan dan distribusi hasil laut yang efisien agar produk perikanan dapat sampai ke konsumen dengan kualitas yang terjaga. Sebagai contoh, peningkatan kualitas fasilitas pengolahan dan distribusi ikan dapat mengurangi kerugian pasca-panen dan memastikan kelancaran pasokan bahan makanan bergizi untuk program MBG (KKP, 2023).
Kedua, dengan memberikan pelatihan dan edukasi kepada nelayan serta pelaku usaha perikanan. Pelatihan ini dapat difokuskan pada penerapan praktik berkelanjutan dalam budi daya perikanan serta manajemen rantai pasok yang efisien, sehingga sektor perikanan dapat tumbuh tanpa merusak ekosistem laut yang menjadi sumber daya utama. Hal ini sangat relevan dengan upaya menjaga keberlanjutan sektor perikanan di tengah tantangan perubahan iklim dan ancaman overfishing (Bappenas, 2021).
Ketiga, diperlukan adanya kolaborasi multi-sektor yakni sektor swasta, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat perlu dilibatkan dalam pengembangan ekonomi biru dan pelaksanaan program MBG. Melalui kemitraan ini, berbagai pemangku kepentingan dapat saling berkontribusi untuk memastikan implementasi yang efektif, baik dari sisi kebijakan, teknologi, maupun sumber daya manusia.
Perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan biru khususnya dalam menyukseskan integrasi ekonomi biru dan MBG. Melalui riset, inovasi, dan pengabdian masyarakat, kampus dapat melakukan pengembangan teknologi akuakultur berkelanjutan, seperti sistem akuaponik, budi daya mikroalga, dan pemrosesan dingin hasil laut.
Perguruan tinggi juga dapat menciptakan inovasi pangan laut bergizi untuk mendukung MBG, misalnya produk olahan berbasis ikan lokal serta dapat terlibat langsung dalam memberikan pelatihan kepada nelayan dan UMKM pesisir tentang praktik berkelanjutan dan manajemen rantai pasok.
Selain itu Perguruan Tinggi juga dapat menjadi pusat advokasi kebijakan publik yang berbasis bukti ilmiah demi mendorong kebijakan kelautan dan pangan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan adanya kolaborasi antarsektor --pemerintah, kampus, industri, dan masyarakat-- maka upaya integrasi antara MBG dan ekonomi biru diharapkan dapat dijalankan secara strategis dan terencana.
Keempat adalah perlunya inovasi teknologi modern dalam budi daya perikanan dan pengolahan hasil laut sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi serta kualitas produk pangan laut yang lebih aman dan bergizi. Teknologi seperti budidaya ikan berbasis akuaponik, pengolahan berbasis teknologi pemrosesan dingin, dan sistem pemantauan berbasis sensor dapat mempercepat pencapaian tujuan program MBG.
Melalui integrasi ekonomi biru dan Program Makan Bergizi Gratis, Indonesia diharapkan dapat membangun kedaulatan pangan berbasis laut yang tahan terhadap tekanan global. Ketika dunia semakin proteksionis, seperti dalam kasus tarif impor tinggi oleh AS, kekuatan domestik menjadi kunci. Laut Indonesia adalah anugerah yang harus dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk generasi kini dan mendatang.
Perguruan tinggi sebagai pusat ilmu dan inovasi wajib hadir sebagai penggerak transformasi ini, memastikan bahwa Indonesia tidak hanya tangguh menghadapi tantangan global, tetapi juga menjadi pelopor negara maritim yang berdaulat dan berkeadilan.
*) Misbakhul Munir, S.Si. M.Kes. adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
Copyright © ANTARA 2025