Trump, lawatan Teluk dan genosida Gaza: Antara stabilitas dan ambisi

6 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Hamparan karpet berwarna lavender tampak mencolok menyambut kedatangan Presiden AS Donald Trump di Riyadh, Arab Saudi, Selasa (13/5).

BBC mengemukakan bahwa Arab Saudi telah mengubah warna karpet penyambutan mereka dari merah menjadi lavender sejak tahun 2021, dengan alasan bahwa warna baru itu terinspirasi dari warisan alamiah negara tersebut.

Namun, BBC juga mencatat bahwa bukan itu saja perbedaan dalam penyambutan Trump bila dibandingkan dengan pendahulunya, Joe Biden.

Bila dahulu Biden--yang pernah berucap akan membuat Negara Kerajaan itu sebagai "paria"--hanya disambut tim delegasi yang dikirim Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, maka Trump disambut secara langsung oleh sosok Sang Putra Mahkota Saudi itu sendiri saat turun dari pesawat kepresidenan.

Agenda Trump dalam kunjungan ke kawasan Timur Tengah tentu saja tidak hanya Arab Saudi, tetapi juga sejumlah negara lainnya yaitu Qatar dan Uni Emirat Arab. Lawatan ini merupakan kunjungan ke luar negeri kedua oleh Trump di masa periode kepresidenan keduanya, setelah melayat prosesi pemakaman Paus Fransiskus di Roma, April.

Pada masa periode kepresidenan pertamanya, Trump pertama kali melaksanakan lawatan luar negeri dengan mengunjungi Arab Saudi, mengubah tradisi di mana presiden AS sebelumnya biasanya mengunjungi Inggris Raya, Kanada, atau Meksiko sebagai negara pertama yang dikunjungi.

Sedangkan di Timur Tengah kali ini, Aljazeera melaporkan bahwa Trump memiliki tujuan mengamankan kesepakatan ekonomi berskala besar serta membuat kemajuan di bidang diplomasi terhadap sejumlah isu yang terkait erat dengan kawasan tersebut, seperti gencatan senjata Gaza dan normalisasi hubungan Saudi-Israel.

Namun, tujuan yang berfokus kepada bisnis dan investasi tampaknya lebih kentara terlebih mengingat kondisi perekonomian AS yang saat ini dilaporkan sejumlah media dalam keadaan memburuk, antara lain penurunan hasil PDB pada kuartal pertama 2025, yang pertama kalinya terjadi sejak tiga tahun lalu.

Di lokasi lawatannya yang pertama, yaitu Arab Saudi, Trump menghadiri KTT bisnis Saudi-AS yang dihadiri sejumlah pengusaha-miliarder dari Negeri Paman Sam, seperti Mark Zuckerberg, Larry Fink, Elon Musk, dan Sam Altman.

Setelah dari Saudi, Trump dijadwalkan berkunjung ke Qatar pada Rabu (14/5) serta akan mengakhiri kunjungan ke Uni Emirat Arab pada Kamis (15/5).

Baca juga: Pelapor PBB sebut rencana Trump terhadap Jalur Gaza "tak bermoral"


Investasi di AS-Keamanan Teluk

Peneliti kebijakan Timur Tengah Institut Internasional untuk Studi Strategis di Bahrain, Hasan Alhasan, menyatakan kepada CNN bahwa negara-negara Teluk memenuhi kriteria yang tepat bagi Trump, yaitu komitmen untuk menginvestasikan triliunan dolar dalam ekonomi AS serta membeli banyak sistem persenjataan AS.

Masih dari CNN, komentator politik ekonomi Arab Saudi, Ali Shihabi, menuturkan bahwa hal yang paling dicari negara-negara Teluk adalah "keamanan, keamanan, dan keamanan", dalam artian bahwa pemerintah di kawasan tersebut akan berupaya agar AS memastikan komitmen menjaga keamanan dan stabilitas Teluk.

Salah satu contoh yang paling nyata dari timbal balik tersebut adalah penandatanganan resmi kesepakatan penjualan senjata senilai 142 miliar dolar AS (Rp2,35 kuadriliun) antara AS dan Arab Saudi, di tengah kunjungan Presiden AS Donald Trump ke negara tersebut.

Pernyataan dari Gedung Putih, Selasa, menyebutkan bahwa kesepakatan itu membuka akses bagi Arab Saudi terhadap peralatan pertahanan tercanggih dan layanan dari belasan firma pertahanan AS, yang akan membolehkan AS memasok peralatan untuk memperkuat kapabilitas angkatan udara dan antariksa serta pertahanan udara dan rudal Arab Saudi.

Gedung Putih juga menyatakan bahwa kesepakatan itu akan menguntungkan Arab Saudi antara lain dengan penguatan keamanan maritim dan pesisir, keamanan perbatasan, serta pembaruan sistem informasi dan komunikasi.

Tentu saja, tidak semuanya terkait murni dengan kesepakatan bisnis, karena Trump di Arab Saudi juga ternyata bertemu dengan Presiden Suriah, Ahmed Al-Sharaa. Trump juga telah mengumumkan pencabutan sanksi AS terhadap Suriah, yang menandakan potensi reintegrasi Suriah sepenuhnya ke dalam sistem global.

Namun, meski langkah normalisasi itu didukung oleh Arab Saudi dan Turki, tetapi di saat yang bersamaan dikritik oleh Iran dan Israel, di mana pemimpin Negeri Zionis itu, Benjamin Netanyahu menyatakan ketidaksetujuannya karena adanya kekhawatiran keamanan.

Beda haluan Trump-Netanyahu

Perbedaan pandangan antara Trump dan Netanyahu ini juga perlu untuk disorot karena bukan pertama kalinya antara keduanya terjadi beda haluan.

NBC News mengutip ucapan dari Frank Lowenstein, mantan utusan Timur Tengah era pemerintahan Obama, yang menyatakan bahwa pihak Israel awalnya mengira dengan terpilihnya Trump akan membuat mereka mendapat "cek kosong" untuk dapat menjalankan agenda apa pun, tetapi ternyata Trump memiliki agendanya sendiri.

Lowenstein mengemukakan, Trump, yang sebelumnya mencabut pembatasan pengiriman senjata ke Israel dan mendukung perang genosida di Gaza, kini tampaknya mengambil jalur yang berbeda dari Netanyahu.

Saat Iran yang tengah tertekan akibat sanksi AS dan kehilangan banyak jaringan proksi regional, maka Netanyahu memandang saat ini menjadi momentum strategis untuk melancarkan serangan militer ke fasilitas nuklir Iran. Namun, Trump ternyata lebih mendorong pendekatan diplomatik.

Trump telah memberikan sinyal terbuka untuk bernegosiasi dengan Teheran, yang membuat frustrasi para pejabat Israel. Frustrasi itu juga bertambah ketika Trump menghentikan operasi militer AS terhadap kelompok Houthi yang didukung Iran di Yaman, menyusul janji kelompok itu untuk menghentikan serangan terhadap kapal-kapal AS di Laut Merah.

Keputusan tersebut mengejutkan Israel, terutama karena terjadi hanya berselang beberapa hari setelah Houthi menembakkan rudal ke dekat Bandara Ben Gurion, bandara utama Israel. Jangan dilupakan pula, bahwa dari kunjungan yang dilakukan Trump ke kawasan Timur Tengah ini semuanya adalah dengan berkunjung ke negara-negara Arab, tetapi tidak ke Israel.

Baca juga: Pandangan Masyarakat Timur Tengah terhadap Kebijakan Trump


Penderitaan Palestina

Namun, harus selalu diingat bahwa mencuatnya perbedaan antara Trump dan Netanyahu juga tidak mengurangi sedikit pun penderitaan yang dialami warga Palestina terhadap aksi serangan brutal pasukan Zionis Israel.

Sejak Oktober 2023, sudah lebih dari 52.800 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, tewas akibat serangan brutal Israel di Gaza.

Hal itu tetap terus berlangsung (tanpa adanya langkah nyata dari AS untuk menghentikan genosida tersebut), meski Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November 2024 mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan kepala pertahanan, Yoav Gallant, atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Saat Trump tengah berkunjung di negara-negara Teluk, BBC melaporkan bahwa Israel kembali dengan kejam dan leluasa melakukan serangan udara yang menewaskan lebih dari 80 orang (termasuk puluhan anak-anak dan wanita) di sepanjang Jalur Gaza, Selasa (13/5) malam waktu setempat.

Wakil Sekretaris Jenderal untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat PBB, Tom Fletcher telah mendesak anggota Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan guna mencegah genosida di Gaza, serta menyerukan kepada Israel untuk mencabut blokade terhadap pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Banyak pemerintahan dan mereka yang memiliki hati nurani dapat melihat bahwa penutupan akses bantuan merupakan sebuah hukum kolektif yang kejam oleh Israel terhadap warga Gaza, yang mengakibatkan banyak warga kelaparan, kekurangan nutrisi, dan tidak mendapatkan layanan medis dasar yang layak.

Tidak heran bila Fletcher mendesak Israel untuk mencabut "blokade brutal” itu dan mengizinkan para pekerja kemanusiaan menyelamatkan nyawa warga sipil.

Selain meminta Israel untuk mencabut blokade yang telah berjalan lebih dari 10 pekan di Gaza itu, Fletcher juga mengkritik rencana Israel-AS untuk mengambil alih distribusi bantuan kemanusiaan di wilayah tersebut.

Menurut sejumlah media AS dan Israel, Kabinet Keamanan Israel pada Ahad (4/5) telah mengesahkan rencana pengiriman bantuan bagi warga Palestina di wilayah perang Gaza melalui kontraktor keamanan swasta AS.

Rencana itu telah ditolak oleh tim kemanusiaan di PBB yang menyatakan bahwa pihaknya "tidak akan berpartisipasi dalam skema apa pun yang tidak mematuhi prinsip-prinsip kemanusiaan global yaitu ketidakberpihakan, independensi dan netralitas".

Sejumlah warga Palestina yang diwawancarai jurnalis media Xinhua menyuarakan rasa ketidakpercayaan yang mendalam terhadap upaya tersebut, seraya menuduh Washington dan Tel Aviv melakukan langkah politisasi pengiriman bantuan di tengah krisis kemanusiaan yang semakin parah.

Mohammed al-Ajrami, seorang pengungsi di Gaza City, mengatakan, pengungsian paksa sejak awal perang telah membuat banyak warga mengalami kelaparan, kekurangan, dan ketakutan. "Orang-orang di sini tidak percaya pada inisiatif apa pun yang melibatkan pihak-pihak yang sama yang mereka anggap bertanggung jawab atas penderitaan mereka," katanya sebagaimana dikutip Xinhua.

Baca juga: AS upayakan putaran keempat pembicaraan nuklir dengan Iran pekan ini

Kunjungan "kosmetik"

Untuk itu, jangan heran bila ada kalangan yang berpandangan bahwa kunjungan Trump hanya sebagai politik "kosmetik", karena tujuan yang sebenarnya hanya lebih ditujukan kepada mengamankan investasi dan penjualan persenjataan AS daripada mencapai stabilitas atau keadilan regional yang sesungguhnya.

Apalagi, masih banyak yang belum melupakan bahwa Trump menyebut Gaza sebagai "Riviera Timur Tengah" sambil mengusulkan relokasi massal warga Palestina, yang akibatnya berdampak menuai tuduhan pembersihan etnis—bukan pembangunan perdamaian.

Bila AS benar-benar tulus ingin dilihat sebagai pihak yang betul-betul melakukan peran yang konstruktif guna mewujudkan perdamaian yang komprehensif, maka Negeri Paman Sam itu harus bertindak sebagai mediator yang konsisten dan netral, serta berhenti memilih satu negara berdasarkan favoritisme atau aliansi yang telah berjalan lama.

AS juga harus mendukung tatanan internasional berbasis aturan, bukan berdasarkan prinsip transaksional berdasarkan siapa pihak yang membayar lebih banyak atau membeli lebih banyak senjata. Dalam konteks Palestina, AS harus sepenuhnya menghentikan pengiriman senjata ke Israel yang membantu terjadinya genosida di Gaza.

Selain itu, AS harus mendorong langkah nyata untuk mendukung Solusi Dua Negara, dengan cara meminta akuntabilitas pertanggungjawaban seperti menghentikan perluasan pemukiman oleh Israel serta mendukung pembangunan ekonomi di wilayah Palestina, bukan hanya bantuan keamanan.

Perlu pula mendukung langkah rekonstruksi Gaza serta pembangunan kembali Suriah, Irak, dan Yaman, tentu saja dengan masukan pihak lokal, legitimasi internasional, serta melakukannya berdasarkan tata kelola inklusif dan berinvestasi terutama dalam sektor pendidikan, infrastruktur, hingga energi hijau.

Dengan kata lain, investasi yang penting dilakukan adalah dalam hal hubungan antarmasyarakat seperti pertukaran pendidikan, kerja sama teknologi, serta perubahan iklim. Semua langkah itu juga harus dilakukan bukan dalam kerangka dominasi, tetapi sebagai mitra yang berdialog dengan sehat dan rasional.

Kunci dari semua hal tersebut, yang perlu dipelajari benar-benar dan meresap oleh pemerintahan AS termasuk periode kepresidenan Trump saat ini, adalah adanya konsistensi, kredibilitas, dan kerendahan hati.

Baca juga: Trump dan Netanyahu beda haluan soal Iran dan Gaza, Israel frustrasi

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |