Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon Prof Didin Nurul Rosidin mengatakan bahwa narasi yang berpotensi menimbulkan perpecahan akibat adanya perang India dan Pakistan, harus dihindari.
Menurut dia, konflik India-Pakistan adalah buah dari rentetan permasalahan di masa lalu, baik politik, sosial, budaya, hingga ekonomi yang hingga kini belum tuntas. Dia menyayangkan beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab malah membuat peristiwa ini seolah menjadi narasi “nubuat” bahwa umat Islam (Pakistan) akan berperang dengan orang-orang kafir (India) di akhir zaman.
"Narasi semacam ini cenderung menimbulkan polarisasi tajam, memicu radikalisasi, dan menggerus upaya perdamaian serta diplomasi yang sejatinya sangat diperlukan untuk menghindari eskalasi militer, bahkan nuklir, di kawasan Asia Selatan," kata Didin dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dalam konteks konflik India-Pakistan, menurut dia, narasi “perang akhir zaman” tidak hanya keliru secara historis tetapi juga berbahaya secara sosial dan politik.
Baca juga: India-Pakistan sepakat gencatan senjata, ketegangan mereda sementara
Pandangan apokaliptik seperti ini, kata dia, memberi gambaran seolah-olah pertikaian berskala lokal antara kedua negara Muslim dan non‑Muslim tersebut adalah bagian dari skenario global, padahal akar konflik jauh lebih kompleks dan spesifik secara sejarah dan geopolitik.
Dia menilai penggunaan retorika akhir zaman hanya akan memperkuat false moral clarity atau keyakinan bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan benar, yang sering dieksploitasi oleh kelompok ekstremis untuk merekrut anggota baru.
Selain itu, menurut dia, pandangan tersebut meningkatkan risiko tindakan kekerasan spontan (lone wolf) karena individu yang termakan narasi merasa mendapatkan “panggilan ilahi” untuk beraksi sebelum “akhir zaman tiba.”
Dia menilai narasi “perang akhir zaman antara Islam dengan kafir” yang ditautkan pada konflik India-Pakistan jelas salah alamat dan mencederai semangat pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Faktanya, kemerdekaan Indonesia adalah buah perjuangan seluruh elemen bangsa, terlepas dari suku, ras, golongan, ataupun agamanya.
“Bhinneka Tunggal Ika adalah pengakuan akan realitas historis, sosiologis, plus antropologis yang ada di Indonesia, bahwa Indonesia dibangun dan akan selalu dibangun oleh keanekaragaman, tidak hanya budaya tetapi juga keimanan,” kata dia.
Ia pun mengkritik pihak-pihak yang menyamakan kondisi negara Indonesia dengan konflik India-Pakistan. Dia menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa historis dari masing-masing bangsa dan negara terlalu rumit dan unik jika harus dipandang sama rata.
Dia juga mencontohkan bahwa bangsa Indonesia pernah melewati peristiwa Sumpah Pemuda, yang dalam penyusunannya tidak hanya melibatkan satu keimanan tertentu atau agama Islam saja, tetapi juga lintas keimanan.
Baca juga: Anggota DPR harap Indonesia bantu jembatani konflik India dan Pakistan
Baca juga: China sebut sudah bicara dengan India-Pakistan soal gencatan senjata
Para hadirin dalam peristiwa Sumpah Pemuda punya visi dan misi yang sama tentang bagaimana Indonesia lepas dari belenggu penjajahan.
Kemudian, dia menjelaskan fakta sejarah lain yang mungkin bisa dirujuk, yakni kolaborasi lintas iman pada saat kemerdekaan dan perang revolusi. Perang mempertahankan kemerdekaan itu juga membahas kelompok-kelompok yang pro-Belanda, yang mencoba mempertahankan afiliasi dengan Belanda.
Dalam konteks itu, menurut dia, banyak umat Muslim yang tercatat memiliki afiliasi dengan Belanda dan cenderung menolak untuk Indonesia merdeka, misalnya yang tercatat adalah Sultan Hamid II dari Kalimantan.
"Tetapi di sisi lain, kita mengenal ada Johannes Leimena dan kawan-kawan lainnya yang bukan berasal dari Muslim, justru ingin membangun Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka, lepas dari penjajahan," kata dia.
Maka dari itu, dia mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa lain yang bisa dijadikan rujukan, yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak bisa dibangun hanya dari satu kelompok iman tertentu atau agama tertentu.
"Jadi, kalau misalnya agama itu dihadirkan untuk merusak manusia, justru itu melenceng dari misi agama yang sesungguhnya,” kata dia.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Rangga Pandu Asmara Jingga
Copyright © ANTARA 2025