Mataram (ANTARA) - Salah seorang terdakwa kasus korupsi proyek pembangunan gedung tempat evakuasi sementara (TES) atau Shelter Tsunami di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Aprialely Nirmala akan memolisikan Direktur PT Barokah Karya Mataram (BKM) Robinzandhi terkait pemberian keterangan yang tidak benar atau palsu sebagai saksi.
Aprialely Nirmala melalui kuasa hukumnya, Aan Ramadhan di Mataram, Jumat, menjelaskan keterangan palsu Robinzandhi itu tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan Aprialely Nirmala turut menikmati fee proyek Rp1 miliar lebih dari permintaan Dwi Agustianto kepada PT Waskita Karya sebagai pemenang lelang.
"Jadi, saat memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan Rabu (12/3) kemarin itu, Robinzandhi ini menyatakan kalau keterangan terkait klien kami (Aprialely Nirmala) menikmati uang Rp1 miliar lebih itu hanya sekadar informasi dari cerita di warung kopi, dengar dari Gematullah. Tidak ada bukti yang menyatakan klien kami ini menerima," kata Aan.
Pada BAP penyidikan KPK, Robinzandhi sebagai direktur PT BKM yang mengikutkan perusahaannya dalam lelang proyek menyatakan bahwa semua kontraktor di Lombok mengetahui Aprialely Nirmala sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) pelaksana proyek tahun 2014 ini adalah orang kepercayaan Dwi Sugianto, Kepala Dinas Pekerjaan Umum NTB.
Baca juga: Terdakwa korupsi Shelter Tsunami sebut dakwaan jaksa KPK tidak sah
Robinzandhi turut menyebutkan dalam BAP penyidikan KPK bahwa Dwi Sugianto sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum NTB pada era Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi itu menetapkan fee proyek sebesar Rp1,5 miliar bagi perusahaan yang berminat sebagai pemenang lelang proyek Shelter Tsunami.
Karena mendengar kabar Teddy Irjanto sebagai Kepala PT Waskita Karya Cabang NTB telah menyerahkan fee proyek Rp1 miliar lebih kepada Dwi Sugianto agar muncul sebagai pemenang lelang, Robinzandhi dalam BAP meyakini bahwa Aprialely Nirmala sebagai orang kepercayaan Dwi Sugianto turut menerima jatah dari fee proyek tersebut.
"Dalam persidangan, Robinzandhi ini tidak dapat membuktikan keterangannya dalam BAP itu," ujarnya.
Bahkan, jaksa penuntut umum dalam persidangan mengingatkan Robinzandhi sebagai saksi bahwa akibat keterangan dalam BAP yang tidak mendasar pada bukti tersebut telah memberatkan perbuatan pidana Aprialely Nirmala sebagai terdakwa.
Gematullah, Direktur PT Global Mas, pemilik perusahaan yang ikut lelang proyek bersama PT BKM dan PT Waskita Karya, turut hadir sebagai saksi di persidangan.
Baca juga: Terdakwa shelter tsunami ajukan eksepsi terkait penanganan Polda NTB
Saat dihadirkan bersama Robinzandhi, Gematullah menepis dirinya memberikan informasi perihal Aprialely Nirmala turut menikmati fee proyek yang diterima Dwi Sugianto dari PT Waskita Karya yang pada akhirnya muncul sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp19,6 miliar.
Tanpa menguatkan kembali keterangannya yang dibantah Gematullah, Robinzandhi pada akhir persidangan menyatakan ke hadapan majelis hakim tetap dalam keterangan BAP penyidikan.
"Jadi, karena keterangan Robinzandhi ini klien kami diberatkan, klien kami dianggap menerima bagian dari fee proyek. Padahal, itu hanya asumsi, tidak dia ketahui secara pasti dan itu terungkap sebagai fakta persidangan Rabu kemarin (12/3)," ucap dia.
Oleh karena itu, Aprialely Nirmala yang merasa dirugikan dengan keterangan Robinzandhi akan mengambil langkah hukum dengan melaporkan yang bersangkutan atas dugaan memberikan keterangan palsu atau tidak benar.
Baca juga: KPK tahan dua tersangka shelter tsunami di dua lapas wilayah Lombok
Aan sebagai kuasa hukum Aprialely Nirmala berencana melaporkan perbuatan Robinzandhi memberikan keterangan palsu ke Polda NTB yang merujuk pada Pasal 242 ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana hukuman paling lama 9 tahun penjara.
Pemberian keterangan palsu ini juga dikenal dalam tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam aturan pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar terancam pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling berat 12 tahun dengan denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
"Jadi, untuk rencana laporan ke Polda NTB ini akan kami masukkan sebelum lebaran. Untuk sampai ke sana, sekarang kami sedang siapkan kelengkapan materi laporan," kata Aan.
Sebagai bahan kelengkapan laporan, dia memastikan pihaknya dari pihak kuasa hukum Aprialely Nirmala akan menyertakan keterangan Robinzandhi yang tertera dalam BAP penyidikan KPK.
"Keterangan di BAP itu juga akan kami sandingkan dengan keterangan Robinzandhi yang terungkap dalam fakta persidangan," ujarnya.
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025