Suara dunia usaha untuk energi bersih Indonesia

2 weeks ago 8

Jakarta (ANTARA) - Di tengah krisis iklim yang kian nyata, suara dunia usaha Indonesia terdengar semakin lantang bahwa 88 persen eksekutif bisnis menghendaki transisi penuh ke energi terbarukan sebelum 2035.

Hal tersebut terungkap dalam survei global yang dilakukan oleh Savanta atas permintaan We Mean Business Coalition, E3G, dan Beyond Fossil Fuels bertajuk “Powering up: Business perspectives on shifting to renewable electricity”.

Survei dilakukan di 15 negara di dunia, yang merupakan penghasil emisi batu bara dan gas besar global. Hasilnya, 97 persen dari 1.477 pemimpin bisnis skala menengah dan besar di 15 negara, termasuk Indonesia, mendukung peralihan dari batu bara dan bahan bakar fosil lainnya.

Ini bukan sekadar retorika hijau. Ini adalah sinyal kuat bahwa logika ekonomi dan keberlanjutan kini saling berkait erat.

Para pelaku usaha melihat bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga kepentingan bisnis dalam meninggalkan batu bara.

Energi bersih telah menjadi medan baru kompetisi, inovasi, dan efisiensi. Sayangnya aspirasi ini belum sepenuhnya mendapatkan respons setara untuk segera diwujudkan.

CEO We Mean Business Coalition, Maria Mendiluce, menyatakan peralihan dari bahan bakar fosil bukan lagi sebuah perdebatan, tapi ini adalah kondisi ekonomi yang didorong oleh perusahaan-perusahaan yang mengakui energi terbarukan sebagai dasar untuk keunggulan kompetitif jangka panjang, penciptaan lapangan kerja, dan stabilitas harga energi.

Indonesia sendiri masih menggantungkan sekitar 62 persen kapasitas listrik nasional pada batu bara, didukung oleh cadangan melimpah lebih dari 31 miliar ton.

Namun, narasi kebergantungan pada batu bara sebagai sumber energi murah mulai usang. Para pelaku industri sendiri kini sadar bahwa ketergantungan ini menempatkan mereka pada risiko ketidakstabilan harga, volatilitas pasokan global, dan tentu saja, tekanan pasar internasional yang mulai mensyaratkan jejak karbon rendah dalam rantai pasok.

Mereka tidak hanya berbicara soal reputasi korporasi atau tanggung jawab sosial, tapi juga efisiensi biaya dan keberlanjutan usaha jangka panjang.


Pangkas pengeluaran

Sebanyak 76 persen eksekutif percaya bahwa energi terbarukan akan memangkas tagihan listrik perusahaan dan konsumen. Dalam dunia bisnis, inilah suara keras dari kalkulasi rasional yang tidak bisa diabaikan.

Namun, realitas di lapangan memperlihatkan wajah berbeda. Di sejumlah negara masih banyak rencana pembangunan pembangkit batu bara, bahkan mendorong co-firing batu bara dengan biomassa dan amonia sebagai solusi transisi. Padahal, pendekatan ini kian dipertanyakan secara teknis, efisiensi energi, dan nilai keberlanjutannya.

Skema ini ibarat tambal sulam, bukannya jalan keluar. Bahkan dalam diskursus global, pendekatan “solusi setengah hati” semacam ini kian ditinggalkan.

Hal yang dibutuhkan justru keberanian politik untuk menyetop subsidi bahan bakar fosil yang menyedot sekitar 2 persen dari total PDB nasional. Angka ini tidak kecil.

Sumber daya sebesar ini seharusnya bisa dialihkan untuk memperkuat sistem energi bersih, dari perizinan, pembiayaan, hingga penyediaan infrastruktur pendukung seperti jaringan listrik cerdas dan fasilitas penyimpanan energi.

Keterlambatan ini bukan hanya berdampak pada krisis iklim, tetapi juga menahan potensi ekonomi baru yang besar. Dalam Just Energy Transition Partnership (JET-P), Indonesia menargetkan 44 persen energi terbarukan dalam bauran energi 2030.

Oleh karena itu, investasi pada energi surya harus terus didorong karena di Indonesia sendiri dibutuhkan setidaknya 14,4 miliar dolar AS untuk memenuhi target 2025.

Survei terbaru yang dilakukan oleh Savanta menguatkan bahwa 72 persen pelaku usaha di Indonesia, bahkan tidak menginginkan gas alam sebagai energi transisi.

Mereka menginginkan lompatan langsung ke energi terbarukan. Ini adalah pernyataan strategis yang seharusnya menjadi bahan refleksi mendalam.

Gas mungkin tampak lebih bersih daripada batu bara, tetapi tetaplah bahan bakar fosil yang menyumbang emisi dan berisiko menciptakan jebakan ketergantungan baru.

Senior International Campaigner dari Beyond Fossil Fuels, Claire Smith, berpendapat bahwa gas alam telah menimbulkan kekacauan dan kerugian. Akses ke tenaga terbarukan yang terjangkau kini menjadi syarat penentu bagi jajaran pemimpin perusahaan.


Strategi bertahan

Kekhawatiran terbesar pelaku usaha justru terletak pada tiga aspek yang mencakup lambatnya proses perizinan, ketidakpastian pendanaan, dan belum siapnya tenaga kerja di sektor energi baru.

Sebanyak 52 persen mendesak penyederhanaan perizinan, dan 51 persen meminta percepatan modernisasi jaringan listrik. Artinya, mereka tidak hanya menunggu, tetapi sudah dalam posisi siap untuk bergerak asal pemerintah membuka jalan.

Dan ketika 53 persen dari mereka menyuarakan perlunya peningkatan keterampilan tenaga kerja di sektor energi bersih, ini menunjukkan bahwa mereka memandang transisi bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan transformasi sosial-ekonomi secara menyeluruh.

Pembangunan energi terbarukan di Indonesia memiliki potensi menciptakan 100 ribu lapangan kerja hingga 2030, dan menarik investasi sebesar 4,3 miliar dolar AS. Ini adalah angka yang nyata, bukan janji kosong.

Pertumbuhan sektor energi terbarukan juga berarti penyebaran pembangunan ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak tersentuh investasi energi.

Energi surya dan angin, misalnya, bisa dimanfaatkan di daerah-daerah terpencil, tanpa menunggu jaringan besar dari pusat.

Di sinilah keunggulan strategis energi terbarukan dibanding model energi konvensional, ia bersifat desentralistik, inklusif, dan partisipatif.

Perubahan iklim bukan lagi bahaya yang jauh di depan mata. Kekeringan berkepanjangan, banjir bandang, dan kenaikan muka laut telah merusak infrastruktur, merugikan pertanian, dan mengganggu ekonomi lokal.

Energi bersih bukan sekadar solusi lingkungan, tapi juga strategi bertahan hidup. Indonesia adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Maka, pilihan untuk terus bergantung pada batu bara dan gas bukan hanya tidak masuk akal, tetapi juga bunuh diri ekologis.

Bangsa ini sebenarnya juga tidak kekurangan komitmen di atas kertas. Hal yang perlu diperkuat adalah kemauan politik dan keberanian untuk membuat keputusan strategis yang mungkin tidak populer dalam jangka pendek, tetapi menyelamatkan masa depan.

Dunia usaha telah memberikan sinyal kuat. Energi bersih adalah masa depan, dan mereka siap menjadi bagian dari solusi.

Kini, bola ada di tangan pembuat kebijakan. Negeri ini hanya punya satu dekade untuk membuktikan bahwa Indonesia tidak sedang berada di sisi sejarah yang keliru.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |