Jakarta (ANTARA) - Selama lebih dari dua dekade, independensi bank sentral telah menjadi doktrin utama dalam tata kelola ekonomi modern, termasuk di Indonesia.
Bank Indonesia (BI), melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, diamanatkan sebagai lembaga independen yang terbebas dari campur tangan pemerintah. Sejak itu, segala keputusan moneter—mulai dari suku bunga acuan hingga pengendalian inflasi—dikelola oleh teknokrat yang dipercaya bekerja berdasarkan prinsip rasional dan ilmiah.
Namun, dalam dunia yang semakin kompleks, muncul pertanyaan yang dulu dianggap tabu: apakah independensi bank sentral benar-benar selaras dengan prinsip demokrasi?
Demokrasi tidak hanya soal pemilu dan kebebasan berpendapat, tetapi juga menyangkut sejauh mana lembaga-lembaga publik tunduk pada akuntabilitas rakyat. Dalam sistem demokratis, pengadilan harus netral, parlemen harus representatif, dan eksekutif harus bertanggung jawab.
Lalu bagaimana dengan lembaga yang mengatur urat nadi ekonomi negara—yakni uang? Ketika bank sentral diberi kebebasan penuh menentukan arah kebijakan moneter tanpa kontrol rakyat yang memadai, apakah itu bukan sebuah pengecualian yang patut dipertanyakan?
Selama ini, dalih utama independensi bank sentral adalah kebutuhan untuk menjaga stabilitas harga. Teori ekonomi klasik menyebut bahwa tekanan politik, terutama dari pemerintahan yang ingin membiayai defisit atau menggenjot pertumbuhan menjelang pemilu, bisa mendorong pencetakan uang secara berlebihan dan menyebabkan inflasi.
Oleh karena itu, bank sentral harus dijauhkan dari politik agar dapat fokus pada tujuan jangka panjang. Model seperti ini disebut dengan "independensi instrumen", di mana bank sentral memiliki kewenangan penuh memilih alat kebijakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh undang-undang, yaitu stabilitas nilai rupiah.
Namun kenyataannya, kebijakan moneter bukanlah kebijakan teknis yang netral. Setiap keputusan moneter pasti memiliki dampak distribusi.
Kenaikan suku bunga misalnya, bisa menekan inflasi, tetapi juga menyebabkan pelaku usaha kecil kesulitan mengakses kredit, meningkatkan pengangguran, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, suku bunga rendah mendorong konsumsi dan investasi, tetapi juga bisa memicu gelembung aset dan meningkatkan ketimpangan kekayaan karena aset-aset seperti saham dan properti makin mahal.
Dalam kondisi seperti ini, dapatkah kita mengklaim bahwa kebijakan bank sentral adalah urusan teknokrat murni?
Contoh paling jelas terlihat selama pandemi COVID-19. Ketika pemerintah Indonesia kekurangan ruang fiskal untuk membiayai penanganan pandemi, Bank Indonesia membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana melalui skema burden sharing.
Langkah ini memang dilakukan dalam koordinasi dengan pemerintah dan bersifat sementara, tetapi menandai titik penting dalam sejarah moneter Indonesia: independensi BI dilenturkan demi kebutuhan nasional.
Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter dapat adaptif terhadap krisis. Namun di sisi lain, ini membuka perdebatan: apakah BI masih independen, atau kini telah lebih dekat ke pemerintah?
Dalam konteks global, pengalaman serupa juga terjadi. Di Amerika Serikat, mantan Presiden Donald Trump secara terang-terangan mengkritik Federal Reserve karena tidak menurunkan suku bunga sesuai harapannya. Ia bahkan menyuarakan keinginan untuk memecat Gubernur The Fed, Jerome Powell.
Meski menuai kritik luas, tindakan Trump mencerminkan ketegangan lama antara kebijakan ekonomi teknokratik dengan kehendak politik. Di Eropa, Bank Sentral Eropa juga dikritik karena terlalu berpihak pada kepentingan negara-negara kaya seperti Jerman dan mengabaikan beban ekonomi negara seperti Yunani dan Italia.
Permasalahan lain muncul dari tren finansialisasi global. Sejak krisis keuangan 2008, banyak bank sentral justru mendukung ekspansi sektor keuangan melalui kebijakan suku bunga rendah dan quantitative easing. Akibatnya, aset keuangan seperti saham dan obligasi meningkat tajam, memperkaya pemilik modal tetapi meninggalkan masyarakat pekerja yang tidak memiliki aset serupa.
Shadow banking pun berkembang pesat. Laporan menunjukkan bahwa aset shadow banking di dunia meningkat dari 62 triliun dolar AS pada 2007 menjadi 238,8 triliun dolar AS pada 2024. Sementara itu, bank sentral cenderung pasif terhadap pengangguran dan kesenjangan sosial. Jika bank sentral independen justru lebih berpihak pada pasar keuangan dibanding rakyat, untuk siapa sesungguhnya mereka bekerja?
Dalam literatur akademik, kritik terhadap independensi bank sentral sudah muncul sejak lama. Ekonom seperti Joseph Stiglitz menyatakan bahwa terlalu banyak kebijakan ekonomi yang "dibajak" oleh teknokrasi dan terlalu sedikit yang tunduk pada pertimbangan demokratis.
Christine Desan dari Harvard Law School bahkan menyebut bahwa uang seharusnya dipandang sebagai "media demokratis", bukan instrumen teknokratis semata. Ia menekankan bahwa karena uang mempengaruhi distribusi kekayaan dan kekuasaan, maka kontrol atasnya harus bersifat demokratis. John Maynard Keynes pun, dalam A Tract on Monetary Reform (1923), menyerukan agar kebijakan moneter tidak sepenuhnya dilepaskan dari prinsip-prinsip keadilan sosial.
Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi posisi Bank Indonesia ke depan? Apakah independensinya harus dikurangi? Jawabannya tidak sesederhana itu.
Menghapus independensi bank sentral secara total justru bisa membuka risiko moral hazard, seperti inflasi tinggi akibat pencetakan uang tanpa kendali. Namun bukan berarti sistem yang ada sekarang tidak bisa diperbaiki. Justru yang perlu dilakukan adalah menciptakan “kerangka demokratisasi moneter” yang tetap menjamin profesionalisme teknokratik tetapi juga memperkuat akuntabilitas.
Pertama, perlu ada pembaruan dalam relasi antara Bank Indonesia dan publik. BI harus lebih transparan tidak hanya dalam aspek teknis, tetapi juga dalam menjelaskan dampak distribusi dari kebijakan yang diambil. Misalnya, keputusan menaikkan suku bunga sebaiknya disertai analisis tentang siapa yang akan paling terdampak—buruh, pelaku UMKM, atau rumah tangga kelas menengah.
Kedua, parlemen dapat berperan lebih aktif dalam mengevaluasi kebijakan moneter, bukan hanya sekadar mendengarkan laporan tahunan BI, tetapi juga mengundang masukan dari akademisi, serikat pekerja, pelaku usaha, dan organisasi masyarakat sipil.
Ketiga, mandat Bank Indonesia dapat diperluas secara hati-hati. Selama ini, BI hanya memiliki dua fokus: stabilitas harga dan sistem pembayaran. Namun dalam kondisi saat ini, Indonesia mungkin perlu meniru Amerika Serikat yang memberi The Fed mandat ganda—yakni stabilitas harga dan penciptaan lapangan kerja.
Mandat ini tidak harus membatasi BI, tetapi justru memberi fleksibilitas dalam menghadapi krisis sosial ekonomi. Keempat, struktur Dewan Gubernur BI juga dapat dibuka bagi keberagaman latar belakang, termasuk ahli dari sektor riil, tenaga kerja, atau ekonomi pembangunan, bukan hanya ekonom moneter.
Reformasi ini bukan upaya untuk "mempolitisasi" Bank Indonesia, tetapi untuk mengembalikannya kepada rakyat. Kebijakan moneter, seperti halnya kebijakan fiskal, harus tunduk pada prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial. Tidak cukup hanya menjaga stabilitas harga jika harga itu justru menciptakan pengangguran dan kesenjangan.
Pada akhirnya, kita perlu menegaskan bahwa independensi bank sentral adalah sarana, bukan tujuan. Ia penting untuk menjaga disiplin dan kredibilitas ekonomi, tetapi harus tetap berada dalam kerangka demokratis. Masyarakat Indonesia sudah semakin sadar akan pentingnya keadilan ekonomi.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita membuka diskusi yang jujur dan terbuka tentang bagaimana uang—dan lembaga yang mengelolanya dapat benar-benar melayani kepentingan rakyat, bukan hanya angka-angka di layar komputer.
*) Dr.Aswin Rivai,SE.,MM adalah Pemerhati Ekonomi dan Dosen FEB-UPN Veteran, Jakarta, mantan Kepala Divisi International Banking Bank SBI Indonesia
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.