Revolusi biomarker digital, saat tubuh bisa diperbaharui

2 days ago 3

Jakarta (ANTARA) - Dulu, kita memahami kondisi tubuh melalui pemeriksaan tekanan darah atau kadar kolesterol. Di masa depan, jangan heran jika seseorang bisa mengetahui kondisi tubuhnya hanya dengan membuka aplikasi kesehatan di ponselnya.dan dalam hitungan detik, wajahnya dipindai, bukan sekadar untuk membuka kunci, tapi untuk membaca biomarker digital.

Layar menunjukkan kadar gula darah, aktivitas sistem imun, hingga kemungkinan munculnya sel kanker yang masih berupa embrio. Seakan tubuhnya bukan lagi sekadar daging dan tulang, melainkan teks biomolekuler yang bisa dibaca dalam hitungan detik. Masa depan yang dulu hanya ada di film fiksi ilmiah kini menjadi kenyataan.

Biomarker, secara sederhana, adalah indikator biologis yang dapat diukur dan memberikan informasi penting tentang kondisi tubuh seseorang.

Kini, biomarker digital mampu menganalisis tubuh secara real-time, mendeteksi penyakit bahkan sebelum gejalanya muncul. Jam tangan pintar bisa membaca pola napas dan memperingatkan serangan asma 72 jam sebelum terjadi. Sensor kecil yang menempel di kulit bisa mengukur kadar hormon dan membaca sinyal tubuh seakurat laboratorium medis.

Riset di Nature Biotechnology menunjukkan bagaimana kecerdasan buatan (AI) mampu mengenali tanda-tanda penyakit dengan akurasi luar biasa. Bahkan, peneliti di MIT telah mengembangkan perangkat portabel yang mampu membaca RNA virus dari keringat manusia. Bayangkan bila pandemi berikutnya bisa dicegah hanya dengan data biomarker dari jutaan orang di seluruh dunia, sebelum WHO sempat mengumumkan status darurat.

Namun, semakin tubuh kita terbaca, semakin besar pula pertanyaan: siapa pemilik data ini? Apakah individu masih punya kendali atas informasi biometriknya, ataukah data tubuh kita akan menjadi komoditas baru yang dikomersialisasikan?

Menata Ulang Pasukan Pertahanan Tubuh

Bila biomarker digital adalah mata-mata yang mengintai musuh, maka imunoterapi adalah senjatanya. CAR-T cells —sel imun yang telah direkayasa secara genetika— mampu memburu dan membunuh kanker dengan presisi. BioNTech, perusahaan yang sebelumnya sukses dengan vaksin mRNA, kini tengah mengembangkan teknologi CAR-T berbasis mRNA yang dapat diproduksi massal.

Imunoterapi --pengobatan dengan mengaktifkan atau menekan sistem imun-- sekarang juga semakin presisi berkat kombinasi nanoteknologi dan akal imitasi. Di Singapura, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kombinasi nanopartikel dan vaksin neoantigen dapat menghapus sel kanker tanpa merusak jaringan sehat. Namun, terapi yang terlalu agresif juga bisa menjadi bumerang: sistem imun yang terlalu aktif bisa berubah menjadi senjata yang menyerang tubuh sendiri, menciptakan risiko penyakit autoimun.

Di laboratorium-laboratorium terdepan, ilmuwan kini sedang mengukir ulang tubuh manusia. Sel punca pluripoten (iPSCs) bukan lagi sekadar bahan penelitian, tetapi telah berhasil dikembangkan menjadi organ mini seperti hati, ginjal, bahkan korteks otak. Tahun lalu, para ilmuwan di Stanford mencetak heart patch dari sel pasien sendiri, ditambah serat emas nano agar dapat berfungsi seperti jaringan jantung asli.

Lebih revolusioner lagi, di Ohio State University, para peneliti berhasil mengubah sel kulit menjadi pembuluh darah atau jaringan saraf dengan menembakkan sinar laser mikro. Tidak perlu operasi, tidak perlu donor. Ini adalah alkimia modern --mengubah satu jenis sel menjadi jenis lainnya-- berbasis teknologi.

Namun, regenerasi organ juga menimbulkan dilema baru. Jika organ bisa dicetak, apakah akan menjadi solusi, atau malah menciptakan diskrepansi? Apakah ginjal buatan hanya akan menjadi hak istimewa bagi mereka yang mampu membayar?

Nanoteknologi, Mengobati di Skala Tak Terbayangkan

Jika ada teknologi yang mendekati keajaiban, nanoteknologi adalah jawabannya. Di ETH Zurich, para ilmuwan menciptakan "jarum nano" yang dapat menyuntikkan protein CRISPR langsung ke inti sel, memperbaiki cacat genetik tanpa risiko efek samping yang berbahaya.

Di dunia medis, lipid nanopartikel sudah digunakan dalam vaksin COVID-19. Sekarang, teknologi ini dikembangkan untuk menghantarkan obat langsung ke sel kanker tanpa merusak jaringan sehat. Bahkan, graphene-based nanoelectrodes telah digunakan untuk memulihkan kemampuan bicara pasien stroke, mengubah gelombang otak menjadi suara digital.

Namun, di balik semua ini, ada pertanyaan mendasar yang mengintai. Jika kesadaran bisa ditingkatkan melalui nanoteknologi, pun tubuh bisa diperbaiki/diperbarui seperti perangkat lunak, apakah kita masih manusia yang sama?

Di masa depan, mungkin terapi kanker akan bekerja begini: AI membaca biomarker digital pasien, merancang vaksin mRNA yang dikemas dalam partikel nano, sementara sel imun yang telah dimodifikasi genetika dikirim ke lokasi tumor dengan bimbingan magnet. Semuanya dipantau secara real-time oleh biosensor di dalam tubuh.

Namun, setiap revolusi menciptakan "monster". Kini, biohacker di garasi rumah mereka bereksperimen dengan CRISPR. Pasar gelap telah menjual terapi anti-aging berbasis nanoteknologi. Banyak perusahaan dengan alokasi dana miliaran dolar berlomba-lomba mencari cara untuk memperlambat kematian.

Yuval Noah Harari benar. Manusia yang mengalahkan kematian mungkin bukan lagi manusia yang kita kenal. Revolusi biomarker digital telah membawa kita ke ambang perubahan besar, sebuah dunia di mana tubuh bukan lagi misteri, tetapi algoritma yang bisa diubah dan diperbaiki.

Namun di balik semua keajaiban ini, satu pertanyaan tetap menggantung: ketika tubuh menjadi kode yang bisa diprogram, siapa yang memegang kendali? Apakah kita sedang menciptakan masa depan yang lebih sehat, atau tanpa sadar membuka jalan menuju dunia yang dikendalikan oleh segelintir pihak? Hal terpenting lagi; ketika tubuh bisa diperbaiki, di-upgrade, bahkan dibuat ulang, lalu pa artinya menjadi manusia?

Baca juga: Guru besar UI: Biostatistik-AI bikin keputusan kesehatan lebih akurat

Baca juga: Ahli ungkap penggunaan Chatbot AI untuk dukungan kesehatan mental

Baca juga: China sambut layanan kesehatan berteknologi AI dengan hati-hati

*) Dokter Dito Anurogo, M.Sc., Ph.D. adalah Alumnus PhD IPCTRM TMU Taiwan, Dosen FKIK Unismuh Makassar, Peneliti Institut Molekul Indonesia, Pengurus MABBI, Trainer, Reviewer, Penulis profesional

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |