Samarinda (ANTARA) - Psikiater Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) Sri Purwatiningsih menyatakan pola asuh yang tidak tepat menjadi pemicu utama maraknya perilaku melukai diri sendiri sebagai mekanisme koping di kalangan remaja.
"Biasanya perilaku melukai diri ini terjadi sebagai bentuk mekanisme koping dari seseorang untuk menimbulkan kelegaan, menimbulkan rasa tenang ketika perasaannya sedang sedih atau cemas," kata Sri Purwatiningsih di Samarinda, Sabtu.
Baca juga: Psikolog: Pola asuh buruk jadi salah satu penyebab perundungan anak
Menurutnya, tindakan menyakiti diri sendiri merupakan tindakan agresi kepada tubuh, baik secara langsung, seperti menggunakan benda tajam atau membenturkan kepala, maupun tidak langsung, seperti sengaja tidak makan dan minum.
Perilaku ini berbeda dengan bunuh diri (suicide), meskipun keduanya bisa saling berkaitan dalam kondisi gangguan kejiwaan yang lebih serius.
Ia mengungkapkan di Samarinda hampir setiap hari ada pasien remaja yang datang dengan keluhan melakukan tindakan menyakiti diri, seringkali dipicu oleh masalah seperti perundungan.
Dijelaskan Sri, fenomena gunung es ini juga tercermin dalam data nasional, dimana kasus massal tindakan melukai diri pernah terjadi pada puluhan pelajar di Bengkulu Utara, Bali, dan Yogyakarta.
Sri menjelaskan sebagian besar kasus melukai diri sendiri terjadi pada individu dengan kondisi depresi, gangguan kecemasan, bipolar, hingga gangguan kepribadian ambang.
Akar masalahnya seringkali berasal dari masa kanak-kanak, terutama akibat pola asuh yang keras dan tidak memberikan ruang bagi anak untuk memastikan validasi emosinya.
"Ketika seorang anak dilarang menangis atau mengekspresikan kesedihan, ia tidak belajar cara mengelola emosi secara sehat," ungkap Sri.
Baca juga: Hari Anak Nasional 2025: Ini kesalahan orang tua dalam mendidik anak
Baca juga: Psikiater sebut trauma bisa "menular" pada orang-orang terdekat
Akibatnya, saat dewasa dan menghadapi tekanan emosional yang hebat, melukai diri menjadi jalan pintas untuk meredakan perasaan tidak nyaman tersebut.
Selain pola asuh, kata Sri, faktor lain yang berkontribusi meliputi lingkungan pertemanan, tekanan di sekolah hingga kerentanan genetik.
Kabar baiknya, kesadaran untuk mencari bantuan profesional sudah mulai tumbuh di kalangan remaja.
"Banyak juga dari mereka yang datang untuk berkonsultasi atas inisiatif sendiri, bahkan terkadang tanpa dukungan dari keluarga yang masih terbelenggu stigma negatif terhadap kesehatan jiwa," kata Sri.
Pewarta: Ahmad Rifandi
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.