Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengatakan proses penetapan hutan adat di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai tetap berjalan meski sejumlah wilayahnya tumpang tindih dengan permohonan perizinan konsesi yang diajukan oleh PT Sumber Permata Sipora (SPS).
Dalam taklimat media di Jakarta pada Senin, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kemenhut Julmansyah menjelaskan bahwa dua masyarakat hukum adat di Pulau Sipora yaitu Uma Sakerebau Mailepet dan Uma Sibagau telah memulai proses permohonan pengakuan hutan adat sejak 2017 dengan luas yang tumpang tindih adalah 6.937 hektare dari total 20,71 ribu yang diajukan PT SPS untuk Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).
"Jadi sudah berproses cukup lama proses ini, meskipun kami baru penanganannya sejak beberapa bulan lalu. Kemudian kita, bukan menghentikan ya, tapi jeda sementara karena ada yang harus kami selesaikan dengan teman-teman di Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)," tutur Julmansyah.
Saat ini, jajaran Kemenhut dari Ditjen Perhutanan Sosial sudah bertemu dengan pihak masyarakat adat dan pemerintah daerah di Kepulauan Mentawai terkait proses itu. Tidak hanya itu, pihaknya juga tengah menyiapkan rancangan dokumen susunan anggota tim terpadu untuk verifikasi usulan hutan adat.
"Jadi ini ruang sebenarnya untuk bisa mencari titik temu. Dari hasil verifikasi atau dari hasil tim ini bekerja ketahuan nanti dari usulan yang overlap sekitar 6.900, berapa yang nanti tim terpadu sepakati. Karena ada potensi bertambah dan berkurang," tuturnya.
Baca juga: Kemenhut pastikan percepat penetapan hutan adat
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Ditjen PHL Kemenhut Saparis Soedarjanto menyampaikan pihaknya sampai saat ini belum mengeluarkan PBPH untuk PT SPS karena masih menunggu sejumlah tahapan termasuk penyusunan koordinat geografis areal kerja, persetujuan dokumen lingkungan termasuk AMDAL, pelunasan iuran PBPH.
Namun, dia memastikan konsolidasi juga sudah dilakukan terkait tumpang tindih antara pengajuan areal usulan Hutan Adat dan yang diajukan untuk PBPH.
"Ini yang kita pertimbangkan nanti, termasuk dengan pemberian izin tadi. Jika memang nanti prioritas kebijakan ke arah hutan adat, ya sudah, itu dilepas," kata Saparis.
Sebelumnya, masyarakat di Pulau Sipora mengumumkan penolakan keluarnya PBPH di kawasan hutan di Pulau Sipora. Luas yang diajukan oleh PT SPS sendiri seluas 20,71 ribu hektar itu mencakup 33,66 persen dari luas daratan Pulau Sipora.
Tidak hanya itu, luas yang diajukan juga termasuk hutan adat yang dikelola oleh masyarakat. Keberatan itu juga sudah diajukan oleh masyarakat Pulau Sipora dan Koalisi Masyarakat Sipil dalam pertemuan konsultasi publik di Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat pada 22 Mei 2025 sebagai bagian dari proses yang harus dilakukan PT SPS untuk mendapatkan AMDAL.
Baca juga: Pemprov Kalteng gandeng Dewan Adat Dayak lestarikan hutan Gunung Mas
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.