Kutai Timur (ANTARA) - Dalam rimba Kalimantan Timur membentang hamparan hijau Taman Nasional Kutai (TNK), sebuah kawasan hutan pelestarian yang menyimpan kekayaan flora dan fauna.
Lebih dari sekadar hutan hujan tropis biasa, TNK adalah rumah bagi spesies-spesies endemik yang dilindungi, lanskap alam dan saksi bisu sejarah panjang ekosistem Kalimantan.
Di antara keanekaragaman hayati yang mempesona itu, berdiri kokoh dan megah pohon ulin raksasa yang diperkirakan telah berusia lebih dari seribu tahun. Pohon itu menjadi ikon dan daya tarik tersendiri bagi pecinta alam.
Ulin (Eusideroxylon zwageri), sang kayu besi dari Kalimantan, memang bukan sekadar pohon biasa. Tumbuh lambat dengan laju pertumbuhan diameter yang nyaris tak terasa, keberadaan di hutan dataran rendah hingga perbukitan itu adalah penanda kematangan dan keutuhan ekosistem.
Perjalanan menyusuri Jungle Park Sangkima, salah satu zona wisata alam di kawasan TNK, menawarkan pengalaman trekking menarik. Pada sepekan libur Lebaran, sudah sekitar ratusan pengunjung yang menjajal jalur-jalur setapaknya. Dimulai dari loket tiket, peta trekking membimbing para petualang menyusuri hijaunya hutan hujan tropis yang rimbun dan menyejukkan.
Suara gemericik air sungai Sangkima dan anak-anak sungainya menemani langkah para pejalan kaki. Jembatan-jembatan kayu ulin yang melintang di atas aliran air menambah keseruan petualangan, memberikan sentuhan seru di tengah belantara.
Udara segar yang dipenuhi aroma tanah dan dedaunan menjadi penyegar di tengah aktivitas fisik. Namun, puncak dari pengalaman bertualang ini tak lain adalah tatapan mata langsung dengan sang ulin raksasa.
Pohon ulin yang ditemukan pada tahun 1993 dengan diameter 2,42 meter itu, berdasarkan pengukuran terakhir di tahun 2023, telah mencapai diameter 2,52 meter. Pertumbuhan yang lambat ini justru menjadi bukti akan usianya yang diperkirakan telah melampaui satu milenium.
Berdiri tegak dengan batang yang kokoh dan menjulang tinggi, pohon ini seolah menjadi monumen hidup, menyaksikan perubahan zaman dan dinamika hutan Kutai selama berabad-abad. Keberadaannya memberikan kesan mendalam bagi setiap pengunjung, membangkitkan rasa kagum atas kebesaran alam dan pentingnya menjaga warisan yang tak ternilai ini.
Jalur trekking di Jungle Park Sangkima dengan total panjang lima kilometer menawarkan variasi yang menarik. Tanjakan Meranti yang menantang menguji fisik, sementara Jembatan Sling yang bergoyang memberikan sensasi petualangan yang berbeda.
Tempat-tempat rehat yang tersebar di sepanjang jalur menjadi oase bagi para pengunjung untuk beristirahat, menikmati bekal, dan menyerap keindahan hutan lebih lama.
Tak jauh dari sana, sebuah rumah pohon berdiri kokoh, menawarkan perspektif yang berbeda dalam menikmati panorama hutan dari ketinggian.
Dari rumah pohon, hamparan hijau hutan Kutai terlihat begitu luas dan memukau, mengingatkan akan pentingnya menjaga paru-paru dunia ini.
Baca juga: PEP Sangatta berdayakan petani madu kelulut di Taman Nasional Kutai

Evolusi Taman Nasional Kutai
Bentangan hijau Taman Nasional Kutai (TNK) menyimpan cerita panjang tentang evolusi konservasi di Kalimantan Timur. Dari sekadar hutan persediaan di era kolonial hingga menjadi jantung perlindungan ekosistem yang vital, perjalanan TNK adalah cerminan komitmen berkelanjutan untuk menjaga keanekaragaman hayati Kalimantan.
Budi Isnaini, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Sangatta dengan antusias menuturkan sejarah kawasan yang menjadi tanggung jawabnya ini.
“Sejarah kawasan Taman Nasional Kutai ini menarik dan menunjukkan bagaimana kesadaran akan pentingnya konservasi itu tumbuh dan berkembang,” ujar Budi kepada ANTARA.
Lembaran sejarah TNK dibuka jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1932, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan area seluas dua juta hektare sebagai Hutan Persediaan yang mereka sebut Wildreservaat Koetai. Langkah awal ini, menurut Budi, menjadi fondasi penting yang mengakui nilai ekologis kawasan tersebut. Empat tahun berselang, status kawasan ini ditingkatkan menjadi Suaka Margasatwa Kutai seluas 190.000 hektare melalui keputusan dari Pemerintah Kerajaan Kutai.
“Penetapan sebagai suaka margasatwa ini menjadi tonggak penting. Fokusnya mulai bergeser pada perlindungan satwa liar yang memang sangat kaya di kawasan ini,” kata Budi.
Namun, luas kawasan konservasi ini sempat berfluktuasi. Pada tahun 1957 dan 1971, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian, luas Suaka Margasatwa Kutai disesuaikan menjadi 306.000 hektare dan kemudian menyusut kembali menjadi 200.000 hektare. Budi menduga, perubahan ini dipengaruhi oleh dinamika tata ruang dan kebutuhan pembangunan pada masa itu.
Tentu ada berbagai pertimbangan yang melatarbelakangi perubahan luas tersebut. Faktornya ada alokasi lahan untuk kepentingan lain, namun yang pasti, upaya untuk tetap melindungi kawasan ini terus berjalan.
Era baru konservasi di Kutai dimulai pada tahun 1982. Kawasan seluas 200.000 hektare ditetapkan sebagai calon Taman Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian. Proses ini menjadi babak krusial dalam perjalanan TNK hingga akhirnya, pada tahun 1991, kawasan tersebut resmi menyandang status Taman Nasional Kutai dengan luas 198.629 hektare berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan.
Pada periode itu pula, TNK ditetapkan sebagai lokasi penting untuk program reintroduksi orang utan, spesies ikonik Kalimantan yang terancam punah.
“Penetapan sebagai taman nasional ini memberikan kekuatan hukum yang lebih kuat untuk perlindungan ekosistem secara keseluruhan, tidak hanya satwa liar,” kata Budi menegaskan.
Program reintroduksi orang utan juga menjadi bukti komitmen untuk mengembalikan populasi spesies kunci ini ke habitat alaminya.
Upaya pengukuhan batas wilayah TNK terus dilakukan pada tahun 1995 dan 1997, mempertahankan luas kawasan di sekitar 198.629 hektare. Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga integritas kawasan konservasi dari berbagai potensi ancaman.
Seiring berjalannya waktu, peran strategis TNK semakin diakui dalam konteks yang lebih luas. Pada tahun 2013, TNK ditetapkan sebagai bagian dari Koridor Keanekaragaman Hayati dan Bentang Alam Penanjung Kutai di tingkat Provinsi Kalimantan Timur. Setahun berikutnya, cakupan diperluas menjadi bagian dari Koridor Keanekaragaman Hayati dan Bentang Alam Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
“Penetapan sebagai bagian dari koridor keanekaragaman hayati ini menunjukkan bahwa TNK bukan hanya penting di tingkat lokal, tetapi juga memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem regional,” kata Budi.
Pengakuan terhadap potensi TNK juga merambah sektor pariwisata. Pada tahun 2021, melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, TNK ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Penetapan ini diharapkan dapat mendorong pengembangan pariwisata berkelanjutan yang selaras dengan upaya konservasi.
Namun, dinamika tata ruang wilayah terus berjalan. Hal ini karena adanya penyesuaian terbaru terkait luas TNK yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Timur tahun 2024.
Memang ada pengurangan luas TNK sekitar 400 hektare berdasarkan RTRWP Kaltim yang baru. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pengurangan ini rata-rata berada di area pemukiman yang sudah ada di dalam kawasan.
Balai TNK terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait implementasi RTRWP ini agar tidak mengganggu fungsi utama kawasan konservasi.
Baca juga: Polisi selidiki kematian orangutan korban tembak
Wisata edukasi
Penetapan TNK sebagai kawasan pelestarian alam bukanlah keputusan serampangan.
Lebih dari sekadar menjaga pepohonan tetap berdiri, kawasan ini memiliki fungsi krusial dalam melindungi sistem penyangga kehidupan, mengawetkan keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna, serta memungkinkan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan lingkungan secara berkelanjutan.
Penekanan pada kata berkelanjutan menjadi kunci pembeda. Budi Isnaini dengan tegas menyatakan, kemanfaatan di TNK jauh dari praktik eksploitasi industri skala besar. Justru, pemanfaatan yang diperbolehkan bersifat tradisional dan terbatas bagi masyarakat sekitar kawasan. Katakanlah mengambil rotan. Itu pun juga hanya untuk masyarakat sekitar kawasan. Hanya itu.
Kesalahpahaman yang seringkali muncul di benak masyarakat adalah menyamakan TNK dengan hutan lindung biasa. Budi Isnaini meluruskan anggapan tersebut. Hutan lindung itu lebih kepada perlindungan fungsi hidrologis, kesuburan tanah, dan lain-lain. Namun Taman Nasional ini cakupannya lebih luas, termasuk di dalamnya ada perlindungan satwa dan ekosistem langka.
Dalam konteks TNK, zonasi ini terbagi menjadi beberapa area dengan fungsi spesifik. Zona inti menjadi area steril yang hanya diperuntukkan bagi pemantauan keanekaragaman hayati, tanpa adanya aktivitas pembangunan. Zona pemanfaatan dibuka secara terbatas untuk kegiatan wisata alam dan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat sekitar.
Zona rehabilitasi hadir sebagai ruang untuk memulihkan ekosistem yang terdegradasi. Terakhir, zona penyangga di dalam kawasan berfungsi melindungi zona inti dari gangguan luar. Budi Isnaini juga menekankan perbedaan antara zona penyangga di dalam TNK dengan daerah penyangga yang merupakan wilayah pemukiman di luar batas kawasan.
Kendati luasnya menyusut, fungsi utama TNK sebagai benteng perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan lestari tetap menjadi prioritas.
Taman Nasional Kutai bukan sekadar hamparan hutan yang dilestarikan, melainkan sebuah ekosistem yang kaya keanekaragaman hayati, menyimpan potensi wisata yang berkelanjutan, dan menghadapi tantangan pelestarian yang membutuhkan perhatian, sinergi, dan kolaborasi dari berbagai pihak demi masa depan bumi Kalimantan Timur yang senantiasa lestari.
Baca juga: Taman Nasional Kutai Siaga I terkait kebakaran lahan
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025