Perlindungan perempuan: masyarakat butuh contoh baik pemimpin

1 week ago 8

Jakarta (ANTARA) - Wakil rakyat yang juga seorang musisi Ahmad Dhani memberikan usulan dalam momen sidang DPR RI terkait naturalisasi pemain sepak bola.

Dalam usulan itu, ia meminta agar pemerintah melakukan program naturalisasi pemain sepak bola senior dari negara lain untuk dijodohkan dengan perempuan Indonesia, sehingga dapat menghasilkan anak yang diharapkan dapat menjadi pemain bola andal.

Usulan konyol ini kontan mendapat respons negatif dari berbagai pihak, termasuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Pernyataan Ahmad Dhani dinilai melecehkan perempuan karena menempatkan perempuan sekadar mesin reproduksi anak dan pelayan seksual suami.

Namun, di negeri yang masih kental budaya patriarki ini, ternyata Ahmad Dhani tidak sendiri.

Masih segar dalam ingatan, saat kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, beberapa kandidat terjebak dalam pernyataan bersifat diskriminatif dan seksis. Pernyataan tidak layak itu, mulai dari menyarankan pemuda pengangguran untuk menikahi janda kaya, bahwa perempuan jangan diberi beban berat sebagai gubernur, ada juga yang menyarankan agar tidak memilih imam berjenis kelamin perempuan.

Ahmad Dhani dan para calon pemimpin daerah itu mungkin tidak menganggap pernyataan mereka bisa berdampak serius, padahal mereka adalah figur publik. Di era media sosial, sikap negatif dari seorang figur publik bisa cepat menyebar dan membentuk opini publik.

Jika hal semacam ini dibiarkan, terutama generasi muda, akan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Maka, jangan heran bila di jalanan, perempuan sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan, seperti pelecehan, dari sekadar suitan atau kata-kata bernada menggoda hingga pelecehan secara fisik.

Sikap semacam itu juga bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk kesetaraan dan keadilan gender, seperti termuat dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 terkait penetapan ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Tujuan 5.

CEDAW mengamanatkan para pejabat publik, termasuk pembuat kebijakan agar menahan diri untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan dan mengambil langkah strategis untuk menghapuskan diskriminasi tersebut.

Sejatinya, seorang pemimpin memiliki pengaruh besar dalam membentuk budaya sosial. Ketika seorang pemimpin menunjukkan sikap menghargai perempuan, maka masyarakat yang dipimpin pun akan terdorong untuk bersikap serupa. “Ing ngarso sung tulodo”, di depan memberi contoh, demikian semboyan yang diwariskan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro.

Sebaliknya, jika pemimpin justru menunjukkan sikap yang tidak sensitif gender, ini dapat memperburuk budaya permisif terhadap kekerasan dan diskriminasi. Sebagai pengingat bersama bahwa kondisi perlindungan perempuan di Indonesia masih jauh dari kata ideal.

Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah serius di Indonesia. Pada tahun 2024, tercatat lebih dari 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Angka ini naik 10 persen dari tahun 2023.

Budaya patriarki

Patriarki sebagai sistem sosial yang menempatkan lelaki sebagai pemegang kekuasaan dominan, mempengaruhi cara pandang dan perlakuan terhadap perempuan.

Dalam budaya Jawa, perempuan yang sudah berstatus sebagai istri sering disebut sebagai kanca wingking, secara harfiah diartikan sebagai teman di belakang.

Jika dimaknai secara mendalam, istilah tersebut menunjukkan peran krusial perempuan sebagai pendorong, penentu kesuksesan seseorang yang bekerja di balik layar, sebagaimana ungkapan “di balik kesuksesan seorang laki-laki, ada perempuan hebat di belakangnya”.

Namun, istilah tersebut seringkali dipahami secara dangkal bahwa peran perempuan hanya sebatas 3M, macak, masak, manak (berdandan, memasak, melahirkan).

Pierre Bourdieu dalam studinya Masculine Domination (1990) mengungkapkan bagaimana dominasi laki-laki terinternalisasi dalam budaya, struktur sosial, dan cara berpikir individu. Norma-norma sosial patriarki ini diserap secara tidak sadar melalui pendidikan, kebiasaan dalam keluarga dan budaya.

Parahnya, karena sudah menjadi budaya, perempuan sendiri secara tidak sadar menerima posisi inferiornya sebagai sesuatu yang wajar.

Beberapa contoh yang disebut di awal mencerminkan bagaimana habitus patriarki di Indonesia membentuk pola pikir yang merendahkan perempuan.

Masyarakat yang terbiasa dengan humor seksis atau komentar merendahkan perempuan mungkin tidak menganggap ini sebagai masalah. Ini menunjukkan bagaimana dominasi maskulin bekerja secara halus.

Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengubah pola pikir dan cara pandang terhadap perempuan ini.

Jika cara pandang yang salah terhadap perempuan ini diserap secara tidak sadar melalui pendidikan, kebiasaan dalam keluarga dan budaya, maka “obat penawarnya” mungkin bisa didapatkan dari sisi itu.

Dimulai dari rumah, orang tua perlu sejak dini mengajarkan dan memberi contoh kepada anak-anak mengenai nilai-nilai kesetaraan dan menghormati perempuan. Pengajaran yang sejalan tentu juga harus dilakukan di sekolah.

Budaya populer juga bisa menjadi media yang tepat dengan menghindari penggambaran perempuan secara stereotip dan sebagai objek.

Tentunya yang lebih penting adalah aturan hukum yang ketat dalam hal perlindungan perempuan serta para pemimpin yang memiliki sikap mendukung kesetaraan gender melalui tindakan nyata dan kebijakan yang berpihak pada perempuan.

Sikap dan pernyataan pemimpin harus lebih bijak dan sensitif terhadap isu gender. Melalui contoh yang baik, pemimpin bisa mendorong perubahan sosial yang positif dan memperkuat kebijakan perlindungan perempuan.

Dengan kebijakan yang tepat dan sikap pemimpin yang memberikan teladan, Indonesia bisa menjadi negara yang lebih aman dan ramah bagi perempuan.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |