Jakarta (ANTARA) - Pada awal Mei 2025 dikabarkan Indonesia mengalami lompatan pertumbuhan pangan. Data per 4 Mei, pemerintah telah memiliki cadangan 3,5 juta ton beras.
Prestasi tersebut secara kuantitatif sangat membanggakan. Namun, sesungguhnya produktivitas padi nasional hingga kini masih menghadapi berbagai tantangan dari sisi teknis budidaya, ancaman perubahan iklim, hingga gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Pemerintah saat ini mulai serius mengatasi OPT yang dapat terlihat oleh mata seperti hama tikus dengan mendukung peternakan burung hantu. Tetapi masih terdapat musuh tersembunyi yang dapat mengganggu produktivitas karena sering terabaikan.
Musuh itu berupa nematoda parasit tumbuhan terutama yang terbawa melalui benih. Kehadiran nematoda dalam benih, meskipun tak kasat mata, dapat berdampak signifikan terhadap anjloknya pertumbuhan dan hasil panen padi.
Salah satu nematoda yang menjadi perhatian utama adalah Aphelenchoides besseyi. Ia penyebab penyakit pucuk putih pada padi.
Nematoda tergolong patogen tular benih (seed-borne pathogen) karena mampu bertahan dalam kondisi kering pada benih padi hingga lebih dari setahun.
Ketika benih ditanam pada musim tanam berikutnya, nematoda ini akan aktif kembali dan menyerang tanaman muda. Dampaknya terjadi gangguan pertumbuhan yang membuat panen anjlok.
Gejala penyakit pucuk putih biasanya muncul berupa daun muda yang memucat, menggulung, dan tampak kering seperti terbakar.
Pada fase lanjut malai padi menjadi abnormal, hampa, sehingga tidak menghasilkan gabah. Pada banyak kasus, infeksi berat dari nematoda ini dapat menyebabkan kehilangan hasil panen hingga lebih dari 30 persen.
Baca juga: Unej temukan pupuk hayati pengendali nematoda pertama di Indonesia
Bahkan data dari International Rice Research Institute (IRRI) menunjukkan infeksi berat A besseyi dapat menyebabkan kerugian hasil panen antara 20–60 persen bergantung pada tingkat infeksi dan varietas yang ditanam.
Ironisnya, banyak petani dan bahkan produsen benih belum menyadari bahwa benih yang tampak sehat secara fisik belum tentu bebas dari infeksi nematoda.
Tidak ada tanda visual pada benih yang secara langsung menunjukkan kehadiran nematoda. Akibatnya, benih yang terinfeksi sering kali lolos dari proses seleksi mutu.
Oleh karena itu, penting bagi seluruh pihak yang terlibat dalam rantai perbenihan, mulai dari produsen, peneliti, pemerintah, hingga petani, untuk menerapkan pemeriksaan kesehatan benih secara menyeluruh.
Selain itu, diperlukan juga perlakuan benih (seed treatment) sebelum tanam untuk mencegah penyebaran nematoda dari satu musim tanam ke musim berikutnya.
Terdapat beberapa metode perlakuan benih yang telah terbukti efektif untuk mengendalikan A besseyi. Salah satunya adalah metode air panas (hot water treatment) yaitu dengan merendam benih dalam air bersuhu 51–53 derajat C selama 10–15 menit.
Penelitian di Jepang dan Filipina menunjukkan metode ini mampu menurunkan infeksi nematoda secara nyata tanpa mengurangi daya kecambah benih jika diterapkan dengan benar.Namun, metode ini memerlukan ketelitian tinggi dalam pengaturan suhu dan waktu. Jika suhu terlalu tinggi dan waktu terlalu panjang, maka benih dapat kepanasan sehingga mati.
Baca juga: Periset BRIN sebut burung hantu bisa kendalikan tikus di ladang
Benih sehat
Metode lain yang sedang dikembangkan adalah penggunaan teknologi fisik berbasis gelombang ultrasonik.
Teknologi ini bekerja dengan merusak jaringan luar nematoda yang menempel pada permukaan benih, tanpa merusak jaringan benih itu sendiri.
Beberapa penelitian awal yang dilakukan di Indonesia menunjukkan hasil yang menjanjikan sebagai metode pengendalian yang ramah lingkungan dan tanpa meninggalkan residu kimia.
Selain metode fisik, perlakuan kimiawi juga bisa dilakukan, seperti dengan fungisida atau nematisida berbahan aktif tertentu.
Namun, pendekatan ini harus digunakan secara hati-hati, terbatas, dan sesuai rekomendasi karena potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Perlakuan benih di atas idealnya menjadi bagian dari strategi nasional dalam menjaga ketahanan pangan.
Sayangnya, hingga kini belum ada regulasi wajib yang mengharuskan produsen benih padi untuk menyertakan uji nematoda sebagai syarat sertifikasi mutu. Hal ini tentu perlu mendapat perhatian lebih serius dari pemangku kebijakan.
Demikian pula kolaborasi antarlembaga menjadi kunci mengatasi ancaman nematoda tular benih. Lembaga riset dapat berperan pada pengembangan metode deteksi dan pengendalian yang efektif.
Pemerintah, melalui Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP), Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, serta Direktorat Perbenihan dapat merumuskan kebijakan uji kesehatan benih yang lebih komprehensif.
Sementara produsen benih harus bertanggung jawab memastikan benih yang diedarkan aman dari patogen tersembunyi.
Baca juga: 1.000 burung hantu diterima Majalengka guna kendalikan hama tikus
Tak kalah penting adalah edukasi kepada petani agar memahami pentingnya perlakuan benih. Petani seringkali hanya menilai benih dari daya tumbuh dan harga, bukan dari aspek kesehatannya.
Padahal, benih sehat adalah investasi awal yang menentukan keberhasilan panen. Seperti disampaikan oleh FAO dalam laporan tahunannya, “Seed is the basic input in agriculture. If the seed is good, everything else is secondary.”
Sudah saatnya musuh kecil yang tersembunyi dalam benih diawasi. Perlindungan padi harus dimulai sejak dari benih.
Jika benih bersih dan sehat, maka pertumbuhan tanaman pun akan lebih kuat, produktivitas meningkat, dan ketahanan pangan nasional pun lebih terjamin.
Seperti kata pepatah, mencegah selalu lebih murah daripada mengobati. Pada konteks pertanian, menjaga benih dari nematoda seperti A besseyi adalah langkah kecil yang berdampak besar bagi keberlanjutan lompatan produksi pangan Indonesia.
*) Penulis adalah Dosen dan peneliti bidang nematologi tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB.
Copyright © ANTARA 2025