Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Herti Windya Puspasari menekankan upaya pendekatan sosial menjadi kunci dalam menanggulangi peristiwa perkawinan anak.
Melalui diskusi yang digelar secara daring di Jakarta, Selasa, Herti memaparkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa antara 2008 hingga 2018, persentase perkawinan anak di desa mencapai 16,87 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan di kota yang hanya 7,15 persen.
Ia menyebutkan yang dapat dimanfaatkan dalam hal ini adalah pendekatan proses sosial, yang menekankan edukasi, konseling, dan pemberdayaan komunitas, yang turut melibatkan keluarga, sekolah, tokoh masyarakat, serta media massa.
"Pendekatan proses sosial yaitu melibatkan dinamika interaksi antara anggota masyarakat dalam upaya pembangunan struktur maupun kultur," katanya.
Menurut Herti, banyak praktik yang telah diterapkan harus berjalan lebih efektif, seperti peran kader kesehatan, program pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah, pendampingan remaja oleh wali kelas, hingga optimalisasi Karang Taruna.
Pusat Informasi dan Konseling Remaja, lanjut dia, juga memainkan peran strategis. Lembaga ini menjadi ruang edukasi dan sosialisasi, termasuk pencegahan perilaku seks bebas yang kerap menjadi latar kehamilan tak diinginkan, dan akhirnya berujung pada perkawinan anak.
Meski demikian, Herti menjelaskan terdapat budaya-budaya lokal masyarakat daerah yang menjadi salah satu pemicu banyaknya peristiwa perkawinan anak di Indonesia.
Hal tersebut, jelas dia, harus menjadi perhatian pemangku kepentingan terkait dalam melakukan pendekatan berbasis budaya, seperti melalui strategi kolaboratif dengan tokoh agama dan masyarakat yang sudah mulai dikembangkan di beberapa wilayah, seperti Madura, Jawa Timur dan Lombok, Nusa Tenggara Barat.
"Kolaborasi aparat desa, bidan, kader, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah berfungsi sebagai fasilitator agar anak muda mempunyai pemahaman dan pengetahuan yang cukup, sehingga dapat melakukan edukasi dan konseling di masyarakat. Karena bagaimanapun juga, masyarakat akan lebih mendengar tokoh masyarakat atau tokoh agama yang mereka percayai," ucap Herti Windya Puspasari.
Baca juga: Peneliti BRIN soroti ancaman sosial perkawinan anak di wilayah desa
Baca juga: Dinkes catat 779 ibu hamil usia anak di Lombok Timur selama 2024
Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.