Perempuan dan anak rentan dirugikan, ini risiko nikah siri

4 weeks ago 16

Jakarta (ANTARA) - Ada kalanya kondisi sosial, ekonomi, budaya dan berbagai alasan lainnya membuat sepasang kekasih memilih jalur pernikahan yang tidak tercatat secara negara.

Di tengah berbagai kendala tersebut hubungan nikah siri sering kali menjadi jalan pintas yang dianggap cukup sah secara agama. Namun, keputusan ini kerap diambil tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya, terutama bagi perempuan sebagai istri siri dan anak yang mungkin lahir dari pernikahan tersebut.

Tanpa pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA), pernikahan siri tidak memiliki kekuatan hukum. Ini berarti istri tidak memiliki perlindungan hukum atas hak-haknya dalam pernikahan. Padahal, hal tersebut sangat penting untuk menjamin masa depan yang aman dan layak.

Baca juga: Nikah siri dalam Islam, sah tapi tak diakui negara? Ini penjelasannya

Status hukum anak hasil nikah siri

Secara hukum, anak yang lahir dari nikah siri tidak dianggap sebagai anak sah. Ini diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah secara hukum.

Lebih lanjut, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan juncto Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa anak di luar perkawinan hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya, kecuali bisa dibuktikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain bahwa anak tersebut memiliki hubungan darah dengan ayahnya.

Artinya, meski anak hasil nikah siri tetap bisa mendapatkan akta kelahiran, yang tercantum dalam dokumen tersebut hanyalah nama ibunya. Untuk mencantumkan nama ayah, dibutuhkan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan resmi sang ayah terhadap anak tersebut.

Sebelum ada keputusan pengadilan, hubungan hukum antara ayah dan anak dari nikah siri tidak diakui. Konsekuensinya, anak tidak berhak mendapatkan warisan dari ayahnya.

Dari sisi hukum Islam, anak dari nikah siri hanya memiliki hak warisan berupa wasiat wajibah. Sementara menurut Pasal 863 KUH Perdata, anak di luar kawin hanya mewarisi sepertiga dari bagian yang seharusnya mereka dapatkan jika mereka adalah anak sah menurut undang-undang.

Baca juga: Sebanyak 82 pasangan ikuti nikah massal Tangerang Ngebesan

Risiko serius bagi istri dan anak siri

Pernikahan siri lebih sering merugikan pihak perempuan dan anak. Tanpa legalitas yang sah, istri tidak memiliki hak hukum yang kuat jika terjadi perceraian, termasuk hak atas harta gono-gini atau menuntut nafkah. Jika suami meninggal dunia, istri siri juga tidak berhak mengurus warisan, karena statusnya tidak diakui secara hukum.

Anak hasil pernikahan siri juga menanggung dampak besar. Selain berpotensi kehilangan hak waris dari ayahnya, anak juga bisa mengalami kesulitan dalam mengurus administrasi penting seperti pendaftaran sekolah, BPJS, atau dokumen kependudukan lainnya karena statusnya yang tidak jelas.

Lebih dari itu, istri siri juga lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Tanpa perlindungan hukum, banyak perempuan yang akhirnya terjebak dalam hubungan yang tidak sehat dan tidak memiliki jalan hukum yang jelas untuk keluar dari situasi tersebut.

Memilih jalan nikah siri mungkin terasa lebih mudah di awal, tetapi konsekuensinya bisa sangat panjang dan menyakitkan khususnya bagi perempuan dan anak. Karena itu, memahami segala dampak hukumnya sangat penting sebelum mengambil keputusan. Legalitas bukan sekadar soal status, tetapi juga perlindungan dan kejelasan hak bagi semua pihak yang terlibat.

Baca juga: Polisi terima laporan Atta Halilintar terkait hoaks cerai-nikah siri

Baca juga: Alissa Wahid pandang masyarakat masih alergi soal pendidikan seksual

Pewarta: Allisa Luthfia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |