Perang dagang bisa jadi senjata makan tuan bagi AS

1 week ago 5
tarif protektif yang terlalu tinggi adalah senjata yang akan menjadi senjata makan tuan

Jakarta (ANTARA) - Ada pepatah "lebih baik ditampar musuh di depan muka sendiri ketimbang ditikam dari belakang oleh teman sendiri", karena yang terakhir itu akan jauh lebih menyakitkan hati.

Itulah yang dirasakan Kanada sekarang setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenakan tarif 25 persen kepada barang-barang impor Kanada.

Meksiko yang juga tetangga sekaligus sekutu AS dan China yang sebaliknya dianggap musuh oleh AS, juga dikenakan tarif seperti itu.

Di antara ketiga negara itu, Kanada yang paling sakit hati karena diperlakukan seperti musuh justru ketika selama ratusan tahunan menjadi mitra dan sekutu paling setia AS dalam banyak hal.

"Hari ini Amerika Serikat melancarkan perang dagang terhadap Kanada, mitra dan sekutu terdekat mereka, sahabat terdekat mereka," kata Perdana Menteri Justin Trudeau seperti dikutip AP pada 3 Maret.

Trudeau, juga para pemimpin Meksiko dan China, lalu bersumpah membalas Trump. Trudeau memastikan Trump tak akan mendapatkan apa yang diinginkannya dari perang dagang ini.

Trudeau menuding Trump melancarkan perang dagang agar perekonomian Kanada hancur sehingga bisa dengan mudah dianeksasi AS. Trump memang berulang kali ingin menguasai Kanada, seperti dia mencabut Greenland dari Denmark.

Para pemimpin Kanada yang lain juga murka terhadap Trump. Gubernur Ontario Doug Ford menyatakan negara bagian Ontario siap mengenakan tarif besar untuk listrik yang diekspor ke AS, atau kalau perlu menghentikan pasokan listrik kepada 1,5 juta pelanggannya di AS.

Gubernur Alberta, Danielle Smith, tak kalah garang. Sembari menyatakan telah dikhianati oleh Trump, Smith bersumpah akan menaikkan harga gas dan minyak yang dipasok Alberta untuk AS.

Beberapa kilang di beberapa negara bagian AS bagian utara memang tergantung kepada pasokan minyak mentah dari Alberta. Tahun lalu, Alberta mengekspor empat juta barel minyak mentah ke AS.

Lain halnya dengan pemimpin Partai Konservatif, Pierre Poilievre. Dia mengajak negara dan rakyat Kanada meladeni tantangan perang dagang dari Trump.

Baca juga: Kanada "lebih baik jadi negara bagian ke-51" AS, kata Trump

Baca juga: Trump sebut tarif 25 persen untuk Meksiko dan Kanada berlaku 4 Maret

Baca juga: AS kenakan tarif pada Kanada, Trudeau: Tindakan Trump "sangat bodoh"


Lingkaran setan ekonomi

Respon sama marahnya ditunjukkan oleh Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum. Tapi yang ini baru akan mengumumkan langkah balasan akhir pekan ini. Sheinbaum tidak sereaktif Justin Trudeau karena masih berharap Trump membuka ruang untuk berpikir ulang.

Trump rupanya benar-benar mencampakkan perdagangan bebas seperti sebelum ini dia dambakan, padahal platform ini dirangkul AS sejak Perang Dunia II.

Trump ingin menghilangkannya karena dianggapnya telah menghilangkan jutaan lapangan kerja di AS.

Untuk mengembalikan lapangan kerja yang hilang itu, Trump lalu membuat mahal produk impor sehingga industri dalam negeri bergeliat kembali.

Bagus memang tujuannya, tetapi itu menyimpan paradoks ketika dunia sudah demikian integratif dan saling terkait seperti sekarang.

Yang menyesakkan dada dari Trump adalah dia menaikkan tarif kepada siapa pun, entah itu kepada sekutu setia AS seperti Kanada atau negara-negara yang dianggapnya musuh, seperti China.

Trump mencampakkan pandangan pada umumnya ekonom-ekonom AS sendiri bahwa proteksionisme itu mahal dan tidak efisien. Dia menilai bea impor adalah justru senjata terampuh yang tak pernah digunakan para politisi di AS karena mereka dianggapnya "tidak jujur, bodoh, dan bayaran".

Padahal para ekonom Amerika beranggapan dengan menaikkan tarif sampai sebesar 20 persen saja, berpotensi menaikkan pajak sampai 1,4 triliun dolar AS yang bakal mempersulit kaum miskin AS.

Namun, yang lebih parah dari proteksionisme adalah terciptanya lingkaran setan ekonomi, mulai dari naiknya inflasi dan naiknya harga barang impor yang membuat produk dalam negeri mahal sehingga bukan hanya tak bisa diserap oleh pasar domestik, tapi juga membuat dunia menghindarinya karena terlalu mahal.

Proteksionisme juga pasti memicu langkah balasan yang pada akhirnya menekan daya kompetitif produk dalam negeri AS sendiri.

Sudah begitu, perang dagang juga bakal menaikkan nilai dolar AS yang ujung-ujungnya merugikan produk-produk AS sendiri karena menjadi lebih mahal, sehingga tak ada pasar yang bisa menyerapnya.

Oleh karena itu, para pemimpin AS sebelum Trump berusaha menjauhi perang dagang, karena, setidaknya menurut menteri luar negeri AS era Perang Dunia II, Cordell Hull, "tarif protektif yang terlalu tinggi adalah senjata yang akan menjadi senjata makan tuan."

Proposisi itu pula yang diamini sejumlah kalangan, dalam kaitannya dengan tujuan Trump melancarkan perang dagang, khususnya kepada China.

Baca juga: Presiden Meksiko segera umumkan langkah balasan atas tarif impor AS

Baca juga: Analis nilai perang dagang Trump picu gejolak pasar kripto


China menawarkan antitesis

Namun, ada banyak contoh yang membuat AS tak akan menang melawan China, yang memiliki cadangan devisa 16 kali lebih banyak dari yang dimiliki AS. China menghimpun 3,2 triliun dolar AS, sedangkan Amerika hanya 243 miliar dolar AS.

Banyak produk-produk unggulan China yang justru pasar terbesarnya bukan AS, contohnya laptop dan ponsel.

China adalah pemasok utama laptop dan ponsel untuk India, Amerika Latin dan Afrika. Sebaliknya China adalah pasar utama untuk produk yang dihasilkan perusahaan-perusahaan AS, termasuk Apple yang memproduksi iPhone dan Boeing yang memasok pesawat komersial ke seluruh dunia.

Hingga September 2024, China menyumbangkan 17 persen dari total pendapatan Apple. China juga pembeli besar pesawat Boeing yang menampung 150.000 pekerja AS. Nilai kontraknya mencapai 1 triliun dolar AS.

Bayangkan jika China tiba-tiba mengalihkan perhatian kepada Airbus, sebagai eskalasi dari perang dagang dengan Amerika.

Bayangkan pula jika China mengalihkan perhatian kepada Mercedes, BMW, atau Lexus, ketimbang kepada Ford atau produk-produk otomotif AS lainnya.

Skenario itu sangat mungkin terjadi mengingat Eropa sudah sangat fobia terhadap Trump, termasuk akibat caranya dalam memperlakukan Ukraina.

Mantan presiden Prancis, Francois Hollande menyebut Trump sudah bukan lagi sekutu Eropa, sedangkan Kepala kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, menyatakan dunia Barat membutuhkan pemimpin baru, karena Trump sudah tak bisa diandalkan.

Oleh karena itu, menarik untuk diikuti apakah perang dagang yang dilancarkan tanpa pandang bulu oleh Trump itu akan membuat "America Great Again" seperti dia semburkan, atau justru membuat mereka yang diperangi AS, termasuk China, malah aktif berkolaborasi dalam menangkal kebijakan perdagangan sepihak ala Donald Trump.

China sendiri, seperti diutarakan Perdana Menteri Li Qiang pada 3 Maret, menawarkan kebijakan yang lebih terbuka dan multilateralistis kepada dunia. Ini jelas antitesis dari pendekatan yang diadopsi Trump.

Pertanyaannya, apakah formula Trump atau formula China yang menang?

Mari kita lihat paling tidak untuk dua tahun ke depan, sampai rakyat AS memilih kembali wakil-wakil rakyatnya dalam Pemilu Sela 2026 yang bisa menentukan nasib Trump dan AS kemudian.

Baca juga: China: fentanil masalah internal AS, tak bisa jadi alasan tarif impor

Baca juga: Rupiah menguat seiring perlawanan China terhadap kebijakan tarif AS

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |