Jakarta (ANTARA) - Direktur Indonesia Mineral and Energy Watch Ferdy Hasiman menilai perlu penguatan lembaga pengelola hulu minyak dan gas bumi (migas) melalui revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
“Revisi UU Migas, jika dilakukan, harus diarahkan pada penguatan lembaga pengelola yang profesional, independen, dan memiliki dasar hukum yang kokoh, bukan langkah mundur yang berisiko mengulang persoalan lama,” ujar Ferdy dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.
Ferdy berpandangan revisi UU Migas perlu dibahas secara cermat agar tidak melemahkan tata kelola sektor hulu migas nasional.
Menurutnya, tujuan memperkuat ketahanan energi dan peran negara tidak boleh berujung pada kemunduran reformasi yang telah dibangun selama lebih dari dua dekade.
Ferdy menyoroti secara khusus wacana penataan ulang kelembagaan pengelola hulu migas, termasuk rencana menempatkan Badan Usaha Khusus (BUK) sebagai pengganti SKK Migas di bawah PT Pertamina.
Ia menegaskan isu ini bukan semata persoalan teknis, melainkan menyentuh fondasi tata kelola, kepastian hukum, serta konsistensi arah kebijakan pengelolaan migas nasional.
Dari sisi tata kelola, ia menilai penempatan lembaga pengelola hulu migas di bawah badan usaha berpotensi menimbulkan tumpang tindih peran yang sensitif.
Pengelolaan hulu migas mengandung kewenangan publik strategis, mulai dari pengendalian kontrak, persetujuan rencana kerja dan anggaran, hingga pengawasan biaya operasi. Ketika fungsi tersebut berada dalam struktur korporasi yang juga bertindak sebagai operator, batas antara pengelola dan pelaku usaha menjadi kabur.
Kondisi tersebut, lanjut Ferdy, rentan memunculkan konflik kepentingan dan membuka ruang regulatory capture.
Dalam praktik tata kelola modern, Ferdy menilai hal tersebut berpotensi melemahkan prinsip akuntabilitas dan keadilan antara pelaku usaha, sekaligus menurunkan kualitas pengawasan negara terhadap pengelolaan sumber daya migas.
Implikasi lainnya, lanjut dia, berkaitan langsung dengan iklim investasi. Sektor hulu migas merupakan sektor berisiko tinggi dan padat modal yang sangat bergantung pada kepastian kelembagaan.
Ia menyoroti, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), khususnya investor global non-Pertamina, membutuhkan jaminan bahwa pengelolaan kontrak dilakukan oleh lembaga yang netral dan bebas dari kepentingan bisnis tertentu.
“Jika lembaga pengelola ditempatkan di bawah salah satu pelaku usaha, persepsi ketidaksetaraan sulit dihindari. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi hulu migas di tengah persaingan global yang semakin ketat,” ujar Ferdy.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































