Jakarta (ANTARA) - Peneliti Kelompok Spesialis Riset dan Widyaiswara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute Sanjung Purnama Budiarjo menemukan celah dalam regulasi dan praktik keuangan berkelanjutan yang memungkinkan terjadinya greenwashing.
Greenwashing adalah istilah dalam strategi komunikasi atau pemasaran untuk memberikan citra yang ramah lingkungan, baik dari segi produk, nilai, maupun tujuan perusahaan tanpa benar-benar melakukan kegiatan yang berdampak bagi kelestarian lingkungan.
Baca juga: RI-Australia perkuat kolaborasi keuangan iklim, cegah greenwashing
“Yang pertama adalah aturan yang tidak terstandardisasi. Faktor ini mencakup aturan yang masih belum jelas atau ambigu, membuat perusahaan dapat memanipulasi narasi berkelanjutan,” ucapnya dalam Idea Talks OJK Institute Volume 8 tahun 2025 di Jakarta, Senin.
Dia menerangkan bahwa banyaknya standar yang berbeda-beda antar negara terkait greenwashing membuka ruang bagi perusahaan memiliki standar paling menguntungkan bagi mereka.
Celah kedua yaitu asimetri informasi (asymmetric information), yang berarti publik maupun investor sering kali tak memiliki kecukupan akses terhadap data yang dibutuhkan untuk melakukan verifikasi klaim berkelanjutan. Adapun data yang tersedia juga sering tidak konsisten, akurat, dan dapat diandalkan.
Adapun celah terakhir yaitu kesenjangan kapasitas pemahaman teknis para pemangku kepentingan dalam bidang berkelanjutan. “Selain itu, investor juga bergantung pada informasi yang diberikan oleh perusahaan karena kurangnya pemahaman mereka dalam menilai aspek ESG (Environmental, Social, and Governance),” kata Sanjung Budiarjo.
Baca juga: OJK:Standar pelaporan keuangan yang transparan cegah "greenwashing"
Dampak dari greenwashing yaitu mempengaruhi kondisi internal perusahaan pelaku praktik tersebut. Misalnya dapat merusak reputasi korporasi hingga mengurangi kredibilitas dan kepercayaan dari publik maupun investor.
Konsekuensi terhadap internal perusahaan lainnya yaitu memberikan efek negatif pada kinerja pasar perusahaan, penurunan pendapatan, peningkatan biaya operasional, dan berdampak jangka panjang terhadap prospek bisnis.
Greenwashing juga memberikan dampak yang luas terhadap ekosistem keuangan berkelanjutan secara berkelanjutan.
Baca juga: Menteri LHK: Aturan karbon ketat untuk cegah praktik "greenwashing"
Sebagai contoh, alokasi dana yang seharusnya digunakan demi tujuan berkelanjutan, tetapi justru dipakai untuk proyek tak relevan, sehingga menghambat pencapaian target nasional seperti Nationally Determined Contribution (NDC). Karena perubahan tersebut, praktik greenwashing juga memicu kritik dan skeptisisme terhadap validitas dan kredibilitas keuangan berkelanjutan.
“Hal ini melemahkan upaya pembangunan sektor ini dan menurunkan insentif investor untuk terlibat,” ujar dia.
Pada tahun 2023, terdapat 199 insiden greenwashing di industri jasa keuangan global atau setara 12 persen dari total kasus tersebut. Angka itu menempatkan industri jasa keuangan di urutan insiden greenwashing kedua terbesar setelah industri minyak dan gas dengan porsi 13 persen.
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2025