Jakarta (ANTARA) - Lembaga Sensor Film (LSF) menyatakan pemerintah tengah menyiapkan aturan baru untuk nantinya dapat memfiltrasi konten-konten film di platform Over-the-Top (OTT) dengan layanan video streaming yang saat ini pertumbuhannya terus meningkat mengikuti tren konsumsi video.
Ketua LSF Naswardi mengatakan aturan terbaru itu saat ini berada dalam inisiasi yang akan diajukan Kementerian Kebudayaan lewat Omnibus Law Kebudayaan dengan tiga muatan di dalamnya mencakup UU Perfilman, UU Pemajuan Kebudayaan, dan UU Cagar Budaya.
"Saat ini OTT tidak ada mekanisme untuk kurasi dan filtrasi konten filmnya, dan di hilirnya juga pengawasannya kurang. Jadi tidak ada keseimbangan antara filtrasi di bioskop, TV, dan OTT. OTT dilonggarkan tapi untuk bioskop dan TV itu ketat.," kata Naswardi kepada ANTARA, Selasa.
Dia berharap dengan aturan baru yang disiapkan tersebut nantinya bisa tercipta keseimbangan.
Baca juga: LSF jadwalkan ulang Anugerah LSF 2025
Terkait dengan ketentuan filtrasi konten dalam bentuk film, aturan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman yang secara eksplisit mewajibkan filtrasi konten yang akan tayang di bioskop dan TV.
Sementara untuk konten-konten yang ditayangkan melalui platform OTT video streaming tidak secara eksplisit diwajibkan melewati mekanisme filtrasi lewat sensor sehingga kontennya mungkin tidak terklasifikasi dengan baik sesuai kebutuhan masyarakat.
Maka dari itu diperlukan perbaikan aturan mengenai ketentuan filtrasi konten film sehingga nantinya mekanisme yang sudah diterapkan di bioskop maupun di TV dapat berlaku juga untuk setiap platform OTT video streaming yang beroperasi di Indonesia.
Perbaikan aturan perfilman khusus untuk filtrasi konten di platform OTT video streaming juga didasari dengan permintaan dari masyarakat Indonesia.
Menurut Naswardi, berdasarkan studi dan survei persepsi publik yang dilakukan LSF pada 2024 menunjukkan bahwa masyarakat berkeinginan agar konten-konten di OTT video streaming juga difiltrasi agar setiap kontennya bisa menyasar target penonton yang sesuai.
Baca juga: Ketua LSF dorong sineas buat film kategori usia 21 tahun ke atas
"Jadi memang ada masukan dari publik khususnya melalui penelitian yang dilakukan oleh LSF. Masyarakat lewat survei menginginkan bahwa platform OTT video on demand itu nantinya dikurasi atau difiltrasi. dan salah satu usulannya itu melalui sensor," katanya.
Pentingnya pengaturan untuk filtrasi konten di layanan OTT video streaming mengacu pada pertumbuhan platform OTT di Indonesia yang terus berkembang.
Pada 2024, Populix melalui surveinya "Tracking Over The Top (OTT) Market Habit" mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sudah menjadikan menonton konten di OTT sebagai bagian dari gaya hidup.
Dari laporan itu terungkap ada 33 persen responden mengaku menonton OTT setiap hari, 20 persen sebanyak 2-3 kali per minggu, 18 persen sebanyak 4-5 kali per minggu, dan 12 persen sebanyak lebih dari 5 kali per minggu.
Berdasarkan survei itu juga diketahui Youtube dan Netflix adalah dua platform OTT paling terkenal di Indonesia. Sementara kompetitor lainnya seperti Vidio, Disney+, Viu, dan WeTV juga mulai diminati oleh pasar lokal.
Baca juga: LSF: "Merah Putih One For All" tidak ada pelanggaran sensor
Baca juga: LSF RI tegaskan penyensoran tidak lagi memotong film
Baca juga: LSF RI luncurkan laman perfilman yang aksesibel disabilitas
Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.