Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mendorong pemerintah untuk menaikkan iuran Jaminan Pensiun (JP) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan secara bertahap untuk memastikan keberlanjutan dana pensiun jangka panjang.
"Jaminan pensiun tidak boleh hanya jadi program administratif. Program ini harus benar-benar menjamin kehidupan di usia tua," ujar Edy saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu.
Edy mengatakan saat ini risiko defisit tetap terbuka apabila iuran tidak disesuaikan dengan proyeksi kebutuhan manfaat dan tren demografi penduduk lansia yang terus bertambah.
Menurut Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024 yang dikeluarkan BPS, rasio ketergantungan lansia sebesar 17,76 persen. Dengan kata lain, setiap 100 penduduk usia produktif, sekitar 17 sampai 18 orang diantaranya adalah lansia yang mungkin membutuhkan dukungan sosial atau ekonomi.
Sementara itu jumlah lansia terus meningkat pesat. Tahun 2024 jumlah penduduk lansia telah mencapai 33,67 juta orang atau sekitar 12 persen dari total populasi Indonesia, dan diperkirakan akan terus naik pada tahun-tahun mendatang.
Menurut Edy, program JP harus disesuaikan dengan standar internasional, salah satunya adalah Konvensi ILO Nomor 102 tahun 1952 yang menyatakan bahwa manfaat pensiun seharusnya minimal 40 persen dari upah terakhir. Ini berlaku untuk pekerja yang memiliki masa iuran selama 30 tahun.
Baca juga: Pakar desak penguatan komitmen pemerintah bangun jaminan pensiun inklusif dan berkelanjutan
"Untuk bisa mencapai angka tersebut, pemerintah perlu segera menaikkan koefisien perhitungan manfaat dari yang saat ini berlaku menjadi 1,33 persen. Tanpa itu, manfaat yang diterima akan terus berada di bawah standar kelayakan," katanya.
Selain itu Edy menyoroti perlunya memperbaiki cakupan kepesertaan. Saat ini dari 145,77 juta orang yang bekerja, hanya sekitar 15 juta yang tercatat sebagai peserta aktif JP. Artinya, mayoritas pekerja Indonesia, terutama di sektor informal dan mikro, belum terlindungi dalam sistem pensiun nasional.
"Ini adalah masalah serius. Artinya, sebagian besar pekerja akan memasuki masa tua tanpa perlindungan ekonomi," ujar Legislator Dapil Jawa Tengah III itu.
Ia juga mendorong agar ahli waris peserta yang meninggal dunia atau mengalami cacat total tetap mendapatkan manfaat yang layak. Ia menyarankan agar nilai manfaat minimum untuk kondisi tersebut ditetapkan paling tidak sebesar 1,5 kali dari garis kemiskinan sebagai bentuk perlindungan dasar yang manusiawi.
"Jika kita ingin mewujudkan perlindungan sosial yang adil dan inklusif, maka manfaat JP harus naik dan pesertanya harus diperluas. Tidak bisa lagi hanya menjangkau kelompok formal," katanya.
Senada, Ketua Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan memandang jaminan pensiun bagi seluruh rakyat yang merupakan bagian dari jaminan sosial masih belum tampak menjadi prioritas negara untuk dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Baca juga: Kemnaker dukung perusahaan daftarkan pekerja untuk Jaminan Pensiun
Padahal UU 1945 Pasal 34 ayat 2 mengharuskan negara mengembangkan jaminan sosial untuk seluruh rakyat. Selama ini yang menikmati jaminan pensiun berupa pendapatan bulanan sampai akhir hayat hanya pegawai negeri.
Padahal, kata dia, setiap penduduk Indonesia bisa saja ketika hari tua atau ketika menderita suatu penyakit sehingga tidak mampu bekerja tidak bisa mendapatkan uang bulanan yang bisa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
"Itu adalah kebutuhan paling mendasar bagi semua orang baik muda maupun tua. Para lansia, pekerja mandiri, entah itu petani, nelayan, pedagang, ketika tua belum tentu mendapatkan pendapatan yang cukup. Tidak mungkin mengandalkan anak-anak, karena tidak selalu mendapatkan penghasilan yang cukup," katanya.
Sayangnya, menurut dia, sampai sekarang jumlah peserta JP baru sekitar 38 juta orang, masih sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah pekerja informal yang mencapai 130 juta.
Ia mendorong perbaikan mendasar dalam pola iuran dan pengelolaan dana jaminan pensiun di Indonesia. Seharusnya semua pekerja yang memiliki penghasilan bisa terdaftar dalam program JP , dengan iuran yang dibayarkan bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
Hasbullah menyoroti keberadaan program Jaminan Hari Tua (JHT) yang dapat diambil kapan saja, yang menurutnya justru melemahkan tujuan jaminan sosial.
"Harusnya diakumulasi saja. Iuran JHT sebesar 5,7 persen antara pekerja dan pemberi kerja, ditambah iuran JP 3 persen. Total 8,7 persen itu seharusnya sudah cukup baik untuk masa pensiun," kata Hasbullah.
Baca juga: Inklusivitas jaminan pensiun, Kemnaker tegaskan peran vital untuk pekerja di masa tua
Ia menilai saat ini banyak pekerja masih berpikiran jangka pendek. Ketika mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sebagian besar memilih mencairkan seluruh dana JHT untuk kebutuhan konsumtif atau bisnis tanpa perencanaan.
"Padahal mereka tidak memiliki kompetensi untuk berbisnis. Uangnya habis dan ketika tua atau sakit, tidak ada tabungan pensiun yang tersisa," katanya.
Hasbullah juga menyoroti ketertinggalan Indonesia dalam pengumpulan dana pensiun publik yang dikelola negara melalui BPJS Ketenagakerjaan. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia dinilai sangat tertinggal.
"Vietnam, yang baru merdeka 30 tahun setelah Indonesia dan jumlah penduduknya hanya setengahnya, dana pensiunnya bisa lebih besar dari kita," ujarnya.
Di sisi lain, Malaysia dan Singapura bahkan sudah masuk dalam 50 besar dunia dalam hal dana pensiun, meski jumlah penduduknya jauh lebih sedikit. Sementara Belanda, kata Hasbullah, memiliki dana pensiun dua kali lipat dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya.
"Sementara kita baru 8 persen dari PDB," kata dia.
Hasbullah mengajak semua pihak, baik pemerintah, pekerja penerima upah maupun yang bukan, untuk menyadari pentingnya jaminan sosial pada masa tua.
"Semua kita akan menjadi lansia atau bisa saja menderita cacat karena sakit. Maka kita punya hak untuk memenuhi kebutuhan dasar: makan, pakaian, tempat tinggal. Negara harus hadir dan pekerja juga harus punya kesadaran itu," katanya.
Baca juga: Dirut: BPJS Ketenagakerjaan komitmen jadi pilar ketahanan sosial
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.