Jakarta (ANTARA) - Pemerintah daerah (pemda) dinilai turut berperan penting dalam menggenjot produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional demi mewujudkan swasembada energi pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Dewan Pakar Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) Mohammad Sani dikutip dari keterangan di Jakarta, Kamis mengatakan meskipun selalu mendukung apapun kebijakan pengelolaan energi nasional, posisi pemerintah daerah hanya sebagai pemberi rekomendasi.
"Semua izin kan ada di pusat," kata Sani dalam acara Forum Migas Tempo di Jakarta, Rabu (20/8).
Menurut Sani, ada peluang memperbesar peran daerah dalam industri migas sesuai Pasal 33 UUD 45 ayat 1 yang berbunyi "Perekonomian disusun secara bersama berdasarkan asas kekeluargaan".
Ia mempertanyakan ketika berbicara tentang migas justru yang sering dikemukakan ayat 2 pasal tersebut yang menyatakan "Bumi dan segala yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara".
Di sisi lain, Sani juga menyoroti beberapa daerah penghasil migas yang tidak memiliki alokasi gas untuk daerahnya.
Daerah-daerah tersebut, menurut Sani, justru membeli dari perusahaan-perusahaan lain karena memang tidak ada alokasi gas secara khusus untuk pemerintah provinsi atau untuk badan usaha milik daerah (BUMD).
"Daerah kesulitan mendapatkan pasokan gas dari sumur-sumur yang ada di daerah. Itu PR (pekerjaan rumah) kita," ujarnya.
Baca juga: SKK Migas libatkan pengusaha lokal dalam industri hulu migas
Sani mengharapkan Indonesia bisa menikmati keberlimpahan energi sebagaimana tren tersebut terjadi di dunia saat ini.
"Namun ada satu syarat, yakni keterlibatan daerah yang lebih besar karena setiap daerah punya potensi energi masing-masing, ada potensi energi bersih berupa laut, udara, angin dan lain-lain yang bisa dikembangkan," kata Sani.
Sementara itu, anggota Komisi DPR RI Kardaya Warnika menyoroti perihal kepastian hukum dalam pengembangan investigasi migas.
Hal tersebut mengganggu pengembangan kegiatan pengelolaan wilayah kerja (WK) karena investasi di sektor migas bersifat jangka panjang.
"Kontrak migas bisa 30 tahun. Ketika baru jalan 15 tahun tiba-tiba aturan berubah, investor tentu tidak mau rugi. Ketika berhembus rencana pergantian undang-undang, investor akan menunggu sampai undang-undang benar-benar diganti," ujar Kardaya.
Baca juga: SKK Migas jelaskan perbedaan data produksi minyak bumi
Ia menyebut banyak investor yang lebih memilih berinvestasi di negara lain, meskipun potensi migasnya di bawah Indonesia.
"Mereka ke sana karena ada kepastian hukum. Kalau kita hanya menjanjikan insentif ya ternyata tidak berhasil mendatangkan investor," katanya.
Diketahui, Forum Migas Tempo digelar PT Tempo Inti Media Impresario (Impresario) sebagai wadah dialog strategis untuk bersama-sama mencari solusi atas tantangan besar yang tengah dihadapi, khususnya dalam percepatan peningkatan produksi migas nasional.
Ada tiga sesi dialog dalam acara bertema "Strategi Percepatan dan Peningkatan Produksi Migas Nasional Menuju Swasembada Energi" itu.
Dialog tersebut mengusung subtema "Akselerasi Produksi Migas di Tengah Dinamika Politik dan Transisi Energi", "Investasi Migas di Indonesia Tantangan Regulasi dan Kemudahan Berusaha" dan "Peran Pemerintah Daerah dalam Mewujudkan Swasembada Energi Sektor Migas".
Baca juga: Komisi XII DPR apresiasi kenaikan investasi sektor ESDM 24 persen
Baca juga: Pemda Aceh usulkan 1.762 sumur minyak rakyat untuk legalisasi ke ESDM
Baca juga: PHE pacu produksi dan penemuan cadangan baru untuk ketahanan energi
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.