Jakarta (ANTARA) - Badan PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) Indonesia menyoroti pentingnya pembentukan strategi pencegahan kekerasan terhadap perempuan sebagai pelengkap Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Implementasi (UU TPKS) yang lebih kuat itu mungkin yang kita harus lihat ke depan. Salah satu strategi yang paling krusial dan juga paling sebenarnya jarang sekali untuk diambil langkah-langkahnya adalah mengenai pencegahan kekerasan,” kata Spesialis Manajemen Program UN Women Indonesia Dwi Yuliawati di Jakarta, Kamis.
Dwi, yang hadir pada Konferensi Pers Hari Perempuan Internasional 2025, menuturkan bahwa UN Women bersama sejumlah badan-badan di bawah PBB, tengah mencoba menyusun strategi pencegahan kekerasan terhadap perempuan yang komprehensif dan multi sektor.
Guna menyusun rencana pencegahan, UN Women memulai dengan menentukan respect framework, yakni kerangka untuk melihat risiko perempuan menjadi korban kekerasan di berbagai ranah, mulai dari ranah domestik di rumah, di lingkungan, hingga di sektor-sektor tertentu seperti ekonomi, politik, dan lainnya.
Setelah melihat secara komprehensif, UN Women mengidentifikasi berbagai risiko yang dapat melindungi perempuan dari kekerasan yang disebut dengan faktor perlindungan (protective factor). Kemudian, barulah disusun rencana atau strategi pencegahan kekerasan terhadap perempuan.
“Kemudian kita coba laksanakan untuk lima tahun ke depan sesuai dengan siklus RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan KPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) adalah menyusun rencana pencegahan ini sebagai bagian dari pelaksanaan undang-undang TPKS,” ucap Dwi.
Baca juga: Terdapat 356 korban kekerasan perempuan dan anak selama 2025
Lebih lanjut Dwi memaparkan bahwa kini sudah terdapat beberapa kemajuan terhadap kesetaraan gender, mulai dari partisipasi perempuan dalam politik formal, jumlah anak perempuan yang bersekolah semakin banyak, aktivisme digital untuk mendorong gerakan untuk keadilan hingga undang-undang untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga.
Namun, kemajuan yang ada saat ini, tidak cukup tepat karena partisipasi angkatan kerja perempuan masih stagnan selama 20 tahun. UN Women mencatat angka partisipasi pekerja perempuan masih pada angka 55,54 persen, sementara laki-laki sebanyak 87 persen sehingga ada kesenjangan besar.
“Sementara kita sendiri (dalam) G20 punya target 25 persen hingga 2025. Sementara negara G20 punya target gap-nya diturunkan menjadi 25 persen tahun ini. Kita masih punya PR (pekerjaan rumah) banyak sekali,” ucap Dwi.
Selain itu, kemajuan teknologi yang memiliki potensi besar untuk kesetaraan gender memiliki risiko yang mengancam perempuan.
Oleh karena itu, selain mendorong pencegahan kekerasan, UN Women turut mendorong adanya aksi revolusi digital, aksi bebas dari kemiskinan, partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, perdamaian dan keamanan, serta keadilan iklim bagi perempuan.
“Pesan yang utama yang kami ajukan di hari International Women's Day ini adalah march forward. Bagaimana caranya kita maju ke depan lebih cepat lagi. Dan ini membutuhkan kolaborasi yang baik antara berbagai pihak pemerintah LSM juga bagaimana UN di Indonesia bisa mendorong itu semua,” ujar dia.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Patriotisme perempuan harus mampu majukan bangsa
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2025