Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menyoroti adanya potensi hukuman berlebihan terhadap terdakwa atau overpenalization dalam gugatan PT Timah Tbk. ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Apabila gugatan itu dikabulkan, kata dia, pidana yang dijatuhkan kepada orang yang memperkaya diri sendiri akan digandakan dengan pidana yang dijatuhkan kepada pihak lain (orang atau korporasi), yang juga mendapatkan penambahan kekayaan karena korupsi tersebut.
"Terlebih dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah tersebut, bentuk kerugian negara sebesar Rp300 triliun bukan angka riil, melainkan potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan," ucap Chairul dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Dari praktik eksplorasi dan eksploitasi di wilayah tambang timah tersebut, Chairul berpendapat bahwa pihak yang lebih banyak menikmati hasilnya, yakni PT Timah.
Oleh karena itu, PT Timah dinilai merupakan pihak diberi sanksi. Namun, tidak di bawah Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi melalui UU yang lebih spesifik, seperti UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) atau UU Lingkungan.
"Ini karena kerugian yang dianggap ada dalam kasus tersebut, bukan kerugian keuangan negara, melainkan potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan," ucap dia.
Baca juga: Majelis hakim nilai Harvey Moeis aktor penting kasus korupsi timah
Baca juga: Pakar nilai vonis banding 20 tahun penjara Harvey Moeis terlalu berat
Sebelumnya, PT Timah mengajukan gugatan kepada MK untuk mengubah Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Gugatan tersebut dilayangkan pada tanggal 3 Maret 2025 melalui kuasa hukum mereka, yang menilai bahwa pasal tersebut sudah tidak relevan dalam konteks perkara korupsi timah.
Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku saat ini mengatur pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Adapun PT Timah meminta agar pasal tersebut diubah menjadi berisi pembayaran uang pengganti dengan sebanyak-banyaknya sama dengan kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara, yang timbul akibat tindak pidana korupsi.
Permohonan diajukan terkait dengan kasus timah ilegal yang melibatkan terdakwa Harvey Moeis dan sembilan terdakwa lainnya, yang kini sudah berada di tingkat banding.
Dalam putusan banding itu, kerugian negara ditetapkan mencapai Rp300 triliun, yang terdiri atas kerugian lingkungan akibat tambang timah ilegal sebesar Rp271 triliun dan kerugian lainnya terkait dengan penyewaan alat proses penglogaman timah yang tidak sesuai dengan ketentuan.
PT Timah menilai bahwa penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan keadilan.
Dalam gugatannya, mereka menyatakan bahwa akibat penerapan pasal itu, para terdakwa tidak dihukum untuk mengganti kerugian keuangan negara atau perekonomian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal di wilayah IUP Pemohon I sebesar Rp271 triliun.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025