Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Ir. Ronny Purwadi, M.T., Ph.D menekankan pentingnya kesiapan menyeluruh dari hulu ke hilir agar penerapan BBM E10 tidak hanya berhasil di atas kertas, tetapi juga memberi manfaat ekonomi jangka panjang bagi dalam negeri.
"Penerapan E10 adalah langkah awal yang baik untuk membantu misi menekan emisi, namun harus diiringi dengan penataan yang rapi," kata dia di Jakarta, Senin.
Ia juga menyoroti pentingnya memperkuat industri etanol nasional agar tidak terlalu bergantung pada impor.
“Kalau impor etanol itu juga harus memperkuat industri etanol di Indonesia, supaya pada saatnya nanti industri etanol di Indonesia bisa bersaing dengan impor, menggantikan impor, dan akan ada multiplier effect (efek pengganda) untuk industri dalam negeri,” kata dia.
Menurut peneliti dengan fokus ahli teknologi pengolahan biomassa dan pangan tersebut, pelajaran penting bisa diambil dari industri tekstil yang melemah akibat serbuan produk impor.
Baca juga: Benarkah BBM etanol buat korosi kendaraan? Ini penjelasan pakar
Jika etanol sepenuhnya diimpor tanpa penguatan industri lokal, dampak serupa bisa terjadi. Ia mendorong pemerintah untuk membenahi sektor dari perkebunan hingga produksi.
“Kebunnya harus menghasilkan tebu berkualitas, pabriknya harus efisien, jangan sampai rugi karena ongkos energi terlalu besar, jika misalnya mau etanol yang dari gula,” tambahnya.
Senada, Peneliti ITB sekaligus Anggota Komite Teknis untuk Bahan Bakar dan Bioenergi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Prof. Dr. Eng. Ir. Iman K. Reksowardojo M. Eng menekankan perlunya koordinasi antarkementerian yang solid.
Ia menyarankan agar pemerintah menyusun roadmap atau peta jalan transisi energi yang realistis dan terukur, dan mengingatkan bahwa konsistensi pelaksanaan roadmap lebih penting daripada sekadar pencanangan target.
Baca juga: Tahun depan penerapan BBM E10, TMMIN sebut kendaraan Toyota sudah siap
“Jangan tiba-tiba langsung E10. Butuh waktu, insentif fiskal, dan regulasi yang mendukung,” ujar Iman.
Lebih lanjut, Ronny menyebut pemerintah dapat berkaca dengan Brasil, di mana industri etanol, gula, dan perkebunan tebu dikelola terpadu dalam satu ekosistem bisnis.
Menurut Ronny, di Indonesia, pemisahan antarsektor masih menjadi tantangan tersendiri yang membuat biaya produksi cenderung tinggi.
Dengan kolaborasi lintas sektor, insentif yang tepat, dan pengembangan industri dalam negeri, para pakar optimistis bahwa E10 bisa menjadi pijakan penting menuju ketahanan energi nasional yang berkelanjutan.
Diwartakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia masih dalam tahap penyusunan peta jalan atau roadmap dalam pengimplementasian E10 atau bahan bakar minyak (BBM) yang mengandung etanol sebesar 10 persen.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengungkap penerapan BBM E10 direncanakan untuk diimplementasikan mulai tahun depan.
Baca juga: Pertamina ikut arahan pemerintah soal campuran etanol 10 persen di BBM
Baca juga: Guru Besar UB: Kandungan etanol BBM E10 berdampak mesin lebih bagus
Baca juga: Mengenal etanol dalam kandungan BBM, fungsi dan dampaknya
Pewarta: Pamela Sakina
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025