Jakarta (ANTARA) - Pakar Ilmu Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Tjandra Yoga Aditama mengemukakan sejumlah fakta terkait varian baru COVID-19 dengan nama NB.1.8.1 atau yang dikenal sebagai varian Nimbus yang kini tengah menjadi perhatian global.
"Pertama, laporan Disease Outbreak News WHO terbaru menyebutkan bahwa mulai pertengahan April 2025 sirkulasi varian LP.8.1 mulai berkurang dan varian baru NB.1.8.1 mulai meningkat, dan kini mendapat perhatian penting dunia dan diberi nama varian Nimbus," katanya di Jakarta, Rabu.
Berikutnya, WHO telah menetapkan varian Nimbus sebagai Variant Under Monitoring (VUM). Dalam sistem klasifikasi WHO, VUM adalah salah satu dari tiga kategori utama varian virus, di bawah Variants of Interest (VOI) dan Variants of Concern (VOC).
"Varian yang masuk kategori VUM berpotensi berubah status tergantung pada perkembangan data ilmiah ke depan," ujarnya.
Baca juga: Menkes minta masyarakat tetap waspada meski kasus COVID-19 terkendali
Secara genomik, kata Tjandra, varian Nimbus terkait dengan varian XDV.1.5.1 dan JN.1. Bila dibandingkan dengan varian LP.8.1 yang sebelumnya dominan, Nimbus memiliki beberapa mutasi penting pada protein spike, termasuk di posisi T22N, F59S, G184S, A435S, V445H, dan T478I.
Selain itu Tjandra juga menyebut bahwa mutasi spike di posisi 445 meningkatkan keterikatan virus dengan reseptor hACE2, yang diduga membuat varian ini lebih mudah menular, kemungkinan menjadi penyebab lonjakan kasus COVID-19 di beberapa negara saat ini.
Tjandra yang juga Direktur Pascasarjana Universitas YARSI mengatakan mutasi lain di posisi 435 dan 478 menunjukkan penurunan efektivitas antibodi dalam menetralkan virus, sehingga memperkuat kemampuan imun dari varian ini.
"Hingga 18 Mei 2025 sebanyak 518 sekuens NB.1.8.1 telah dilaporkan ke GISAID dari 22 negara. Proporsi varian ini meningkat dari 2,5 persen pada awal April menjadi 10,7 persen secara global pada pekan epidemiologi ke-17 21–27 April 2025," ujarnya.
Dikatakan Tjandra, lonjakan ini terdeteksi di Asia, Eropa, dan Amerika.
Baca juga: Penelitian di Australia ungkap revolusi virus COVID-19
Ia mendorong Indonesia untuk memperkuat surveilans genomik, termasuk melalui kebijakan tes COVID-19 pada semua pasien Severe Acute Respiratory Illness (SARI) yang dirawat dan 5 persen dari kasus Influenza-Like Illness (ILI).
"Seluruh hasil positif perlu dikirim untuk Whole Genome Sequencing," katanya.
Terakhir, kata Tjandra, menurut World Health Network, ada empat hal penting terkait varian Nimbus. Pertama, varian ini memang tampaknya lebih mudah menular.
Kedua, gejalanya bisa berupa sakit tenggorokan berat seperti tersayat silet, lemas, batuk ringan, demam, dan nyeri otot. Ketiga, tingkat keparahan penyakit masih perlu waktu untuk dikaji lebih lanjut.
Keempat, kemunculan varian ini pada musim panas menunjukkan bahwa COVID-19 tidak hanya menyebar saat cuaca dingin.
“Dengan dinamika yang terjadi, kesiapsiagaan dan peningkatan deteksi dini menjadi hal krusial agar kita bisa mengantisipasi penyebaran varian ini dengan tepat,” katanya.
Baca juga: Prof. Tjandra usul RI adopsi 5 langkah India hadapi lonjakan COVID-19
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2025