Ombudsman: Industri pangan sangat strategis dalam perekonomian RI

2 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Anggota Ombudsman RI (ORI) Yeka Hendra Fatika mengungkapkan industri pangan menempati posisi yang sangat strategis dalam perekonomian nasional.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2025, kata dia, sektor pertanian dan pangan menyumbang 11,8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional atau setara dengan kurang lebih sekitar Rp2.000 triliun per tahun serta mengekspor produk senilai kurang lebih Rp47 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2024.

"Angka ini menegaskan peran industri pangan sebagai penopang fundamental pertumbuhan ekonomi sekaligus garda terdepan perwujudan dan ketahanan pangan di Indonesia," ujar Yeka dalam acara Sosialisasi Pengawasan Pelayanan Melalui Transformasi Digital Mendukung Inovasi Industri Pangan, di Jakarta, Selasa.

Lebih jauh, ia melanjutkan, sektor industri pangan turut menyerap 38 juta tenaga kerja atau 27 persen dari total angkatan kerja nasional dan menjadi sumber penghidupan bagi jutaan petani, nelayan, serta pelaku UMKM.

Dengan produksi beras mencapai 31,1 juta ton pada tahun 2024, dikatakannya bahwa Indonesia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga memiliki posisi penting dalam peta pangan dunia.

Selain itu, Yeka menuturkan rantai nilai pangan yang panjang mulai dari produksi hingga distribusi sampai ke konsumen memberikan efek pengganda yang besar bagi ekonomi rakyat dengan nilai transaksi olahan mencapai sekitar Rp1.300 triliun per tahun.

Namun di balik capaian tersebut, sambung dia, tantangan serius menuntut perhatian bersama, di mana urbanisasi yang telah mencapai 57 persen penduduk pada tahun 2025 memicu lonjakan permintaan pangan olahan yang cepat, aman, dan bernilai gizi tinggi.

Di sisi lain, standar keamanan pangan internasional seperti Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis (HACCP) dan Organisasi Internasional untuk Standardisasi (ISO) 22000 menjadi keharusan jika Indonesia ingin mempertahankan dan sekaligus memperluas pangsa ekspor.

Dia menambahkan, laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2024 mencatat sekitar 12 persen produk pangan Indonesia masih berisiko ditolak pasar ekspor karena belum seragamnya penerapan standar keamanan.

Sementara di tingkat distribusi, sambung Yeka, inefisiensi masih menghambat Kementerian Pertanian (Kementan), di mana pada tahun 2025 Kementan melaporkan kehilangan pangan pasca panen mencapai 7,3 juta ton per tahun.

"Jelas ini menimbulkan kerugian ekonomi dan sekaligus juga mengancam stabilitas harga di tingkat konsumen," tuturnya.

Untuk itu tanpa intervensi berbasis teknologi, menurutnya, rantai distribusi yang panjang dan mahal akan terus menekan daya saing industri pangan nasional. Dalam konteks tersebut, transformasi digital hadir sebagai solusi strategis.

Baca juga: Ombudsman: Pengawasan penyaluran subsidi pupuk tekan keluhan petani

Baca juga: ORI: 70 persen tugas berantas kemiskinan sukses bila petani sejahtera

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |