OJK rilis POJK bagi bank syariah guna perkuat likuiditas, permodalan

6 hours ago 6

Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan dua Peraturan OJK (POJK) terbaru agar industri perbankan syariah disiplin dalam mengelola likuiditas jangka pendek dan pendanaan jangka panjang serta memperkuat ketahanan struktur permodalan.

Kedua aturan tersebut yakni POJK Nomor 20 Tahun 2025 yang mengatur tentang kewajiban pemenuhan rasio LCR dan NSFR bagi bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS), serta POJK Nomor 21 Tahun 2025 mengenai kewajiban pemenuhan leverage ratio bagi BUS.

“Kedua POJK tersebut menjadi langkah penting dalam memperkuat struktur permodalan, likuiditas, dan pendanaan jangka panjang BUS dan UUS agar semakin tangguh, efisien, serta sejalan dengan standar internasional Basel III dan Islamic Financial Services Board (IFSB),” kata Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK M Ismail Riyadi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

POJK Nomor 20 Tahun 2025 mewajibkan BUS dan UUS untuk senantiasa memelihara rasio kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio/LCR) dan rasio pendanaan stabil bersih (net stable funding ratio/NSFR) minimal sebesar 100 persen dengan penerapan secara bertahap.

Ketentuan itu disusun untuk memastikan ketersediaan likuiditas jangka pendek yang memadai serta pendanaan jangka panjang yang stabil, sehingga BUS dan UUS memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengantisipasi kecukupan likuiditas yang dapat timbul akibat dinamika ekonomi dan volatilitas pasar keuangan.

OJK mewajibkan BUS dan UUS untuk melakukan perhitungan kecukupan likuiditas dan pemantauan pendanaan stabil bersih secara berkala, baik pada tingkat individu maupun konsolidasi, guna memastikan risiko likuiditas dikelola secara terukur dan transparan.

Pelaporan serta publikasi atas rasio-rasio tersebut akan dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2026 hingga 2028, sejalan dengan kesiapan industri dan harmonisasi sistem pelaporan keuangan syariah.

Dengan penerapan POJK itu, BUS dan UUS diharapkan mampu mengelola likuiditas dan pendanaan secara lebih disiplin, mengoptimalkan komposisi aset dan liabilitas, serta memperkuat kemampuan dalam menghadapi multiple scenario tanpa mengganggu fungsi intermediasi.

Sementara itu, POJK Nomor 21 Tahun 2025 mewajibkan BUS untuk memelihara leverage ratio setiap waktu dengan threshold minimum sebesar 3 persen. Kewajiban pelaporan pertama kali mulai berlaku untuk posisi akhir triwulan pertama tahun 2026 dan kewajiban publikasi mulai dari September 2026.

POJK itu bertujuan untuk memperkuat ketahanan struktur permodalan BUS, dengan mensyaratkan indikator tambahan berupa leverage ratio sesuai standar internasional yang terkini.

Leverage ratio membantu peningkatan basic awareness industri dalam mengembangkan bisnis secara proporsional terhadap kapasitas permodalannya, tanpa menghitung benefit dari pembobotan risiko aset (risk-weighted assets) dan mitigasi risiko terhadap aset.

Dengan kehadiran leverage ratio, diharapkan BUS semakin mampu mengantisipasi dampak deleveraging pada multiple scenario.

POJK itu mulai berlaku bagi BUS sejak tanggal diundangkan yaitu pada 17 September 2025. Bagi BUS yang tidak mampu memenuhi threshold, dapat mengajukan rencana tindak kepada OJK untuk memperbaikinya. Bagi BUS yang tidak mematuhi ketentuan ini dapat dikenai sanksi administratif baik denda maupun non-denda.

Dengan terbitnya POJK Leverage Ratio bagi BUS, OJK mendukung terciptanya struktur permodalan BUS yang kuat, sehingga mampu menjadi pondasi bagi sistem perbankan syariah yang sehat, berkembang, dan berdaya saing global serta selaras dengan perkembangan standar internasional.

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |