Menuju regulasi transportasi digital yang inklusif dan berkeadilan

2 hours ago 2
Jika dikelola dengan visi digital, pelabelan kendaraan bisa menjadi bagian dari sistem pemantauan cerdas yang mencatat aktivitas operasional, kepatuhan tarif, hingga keselamatan berkendara

Jakarta (ANTARA) - Rencana pemberlakuan Raperda tentang kewajiban KTP Bali bagi sopir Angkutan Sewa Khusus (ASK) di daerah itu, sejatinya, membuka ruang diskusi penting tentang arah masa depan tata kelola transportasi berbasis digital di Indonesia.

Persoalan ini bukan semata soal administratif atau identitas lokal, melainkan refleksi dari tantangan nasional dalam menata hubungan antara otonomi daerah dan integrasi ekonomi digital lintas wilayah.

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sistem pemerintahan desentralistik kini dihadapkan pada pertanyaan mendasar terkait sejauh mana daerah boleh mengatur sektor transportasi tanpa menimbulkan fragmentasi dalam sistem nasional.

Maka saatnya untuk kembali menyadari bahwa negara telah memberikan kebebasan luas bagi individu maupun badan usaha untuk menjalankan kegiatan ekonomi, termasuk di bidang transportasi, selama mematuhi aturan hukum yang berlaku.

Pernyataan ini juga menegaskan bahwa semangat daerah untuk melindungi kepentingan lokal harus berjalan seiring dengan kepatuhan terhadap norma hukum nasional dan prinsip keterbukaan ekonomi.

Transportasi daring, sebagai wajah baru mobilitas modern, bukan hanya soal aplikasi dan kendaraan, tetapi juga tentang keadilan, inklusivitas, dan akses ekonomi bagi jutaan pengemudi di seluruh wilayah Indonesia.

Raperda Bali yang mencantumkan kewajiban KTP Bali bagi sopir, penggunaan pelat DK, label “Kreta Bali Smita”, dan tarif berbeda untuk WNI dan WNA, menunjukkan keberanian daerah untuk menata sistem transportasi sesuai karakter lokal.

Namun langkah ini juga menuntut kesempurnaan teknis dan koordinasi antarlembaga. Kerangka teknis mulai dari penandaan kendaraan hingga integrasi tarif harus disiapkan matang sebelum aturan diterapkan.

Bila tidak, maka semangat penguatan daerah justru bisa berbalik menjadi hambatan mobilitas dan menimbulkan diskriminasi yang bertentangan dengan prinsip persaingan sehat.


Membangun Framework

Dari perspektif nasional, perdebatan ini menjadi cermin bahwa Indonesia perlu membangun framework tata kelola transportasi daring terpadu yang tetap memberi ruang bagi karakteristik lokal.

Kemendagri, Kementerian Perhubungan, dan pemerintah daerah perlu duduk bersama untuk merumuskan pedoman nasional tentang bagaimana perda-perda berbasis identitas lokal tetap sinkron dengan hukum pusat.

Sebab, seperti diingatkan pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan, suatu perda tanpa nomor register Kemendagri tidak memiliki kekuatan hukum. Harmonisasi semacam ini penting agar semangat otonomi tidak berubah menjadi disintegrasi kebijakan.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |