Jakarta (ANTARA) - Pada periode Januari hingga Februari 2025, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia mencatat defisit sebesar Rp31,2 triliun, atau sekitar 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa defisit ini masih dalam batas yang direncanakan dalam APBN 2025, yang menargetkan defisit sebesar 2,53% dari PDB atau sekitar Rp616,2 triliun. Defisit tersebut terjadi karena realisasi pendapatan negara mencapai Rp316,9 triliun, sementara belanja negara mencapai Rp348,1 triliun.
Meskipun defisit saat ini masih dalam batas yang direncanakan, banyak pihak menyoroti penurunan penerimaan pajak dan peningkatan rasio utang sebagai indikator yang perlu diwaspadai, khususnya sebagai sinyal bahwa tahun fiskal 2025 tidak bisa disikapi dengan biasa.
Hal itu juga menjadi tantangan ketahanan fiskal Indonesia yang terjaga dalam dua tahun terakhir, tetapi kini berada pada persimpangan antara keberlanjutan fiskal dan potensi krisis defisit.
Menanggapi situasi ini, pemerintah menekankan pentingnya efisiensi anggaran. Sri Mulyani menjelaskan bahwa efisiensi dilakukan melalui penurunan belanja, baik di pusat maupun daerah, yang mencapai Rp306,69 triliun. Dana tersebut direalokasikan sehingga postur APBN tidak berubah.
Secara keseluruhan, meskipun defisit APBN saat ini masih dalam batas yang direncanakan, pemerintah perlu terus memantau dan menyesuaikan kebijakan fiskal untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mengantisipasi potensi risiko di masa mendatang.
Baca juga: Sri Mulyani pastikan efisiensi tak mengganggu target defisit APBN 2025
Tantangan tahun 2025
Sebagai latar belakang analisis, penting untuk memahami kondisi ekonomi Indonesia pada awal tahun 2025. Pada periode ini, Indonesia menghadapi beberapa tantangan ekonomi yang saling berhubungan seperti pertumbuhan ekonomi moderat dan inflasi yang terkendali.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan berada pada kisaran 5,0-5,5% per tahun, sebuah angka yang cukup stabil namun tidak terlalu tinggi. Meskipun ini merupakan hasil yang positif setelah pandemi COVID-19, ada beberapa tantangan struktural yang menghambat akselerasi ekonomi, termasuk rendahnya daya saing industri, ketergantungan pada ekspor komoditas, serta ketimpangan antara wilayah.
Inflasi di Indonesia pada awal tahun 2025 diperkirakan berada dalam kisaran 3-4%, meskipun ada tekanan dari harga bahan pokok dan tarif energi yang naik. Inflasi yang terjaga di tingkat moderat memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk menjaga kebijakan moneter yang mendukung stabilitas ekonomi.
Baca juga: Pemerintah menyerap penerimaan negara bukan pajak Rp76,4 triliun
Defisit APBN
Defisit anggaran sebesar Rp 31,2 triliun yang tercatat pada awal tahun 2025 mencerminkan ketidakseimbangan fiskal yang terjadi antara pendapatan dan belanja negara. Sedangkan penyebab defisit APBN pada tahun 2025 dapat dipahami melalui beberapa faktor penyebab yang saling berkaitan, antara lain pendapatan negara belum optimal, belanja negara yang tinggi, serta dampak perlambatan ekonomi dan faktor eksternal.
Pendapatan negara, terutama yang berasal dari pajak, belum mencapai potensi maksimal. Tercatat penerimaan negara dari sektor perpajakan sampai dengan Februari baru mencapai Rp316,9 triliun atau sebesar 4,18% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Hal ini antara lain disebabkan oleh beberapa faktor seperti Penurunan Kinerja Sektor Ekspor dan Komoditas, yaitu harga komoditas utama seperti batu bara, kelapa sawit (CPO), dan nikel mengalami penurunan, sehingga mengurangi pendapatan dari pajak ekspor dan PPh sektor pertambangan, dan lebih lanjut ketidakpastian ekonomi dunia berimbas juga pada penerimaan pajak dari sektor perdagangan internasional.
Selanjutnya Pemerintah masih terus memberikan insentif pajak, seperti pengurangan tarif pajak UMKM dan pembebasan pajak barang tertentu untuk mendukung daya beli masyarakat dan dunia usaha, dimana hal itu merupakan bagian dari relaksasi pajak tertentu yang berpotensi mengurangi penerimaan dalam jangka pendek. Selain itu, masalah dalam reformasi perpajakan, rendahnya tingkat kepatuhan pajak, dan tingkat penerimaan yang terbatas juga turut membatasi pendapatan negara.
Di sisi lain, realisasi belanja negara sampai dengan Februari 2025 mencapai Rp348,1 triliun, dan nilainya lebih besar dari pendapatan yang diterima. Belanja pemerintah yang terus meningkat adalah dalam rangka membiayai berbagai program prioritas, termasuk subsidi dan belanja sosial.
Belanja negara pada tahun 2025 didorong oleh kebutuhan untuk pembiayaan infrastruktur, program-program sosial, dan subsidi energi. Di sisi lain, pemerintah juga berkomitmen untuk meningkatkan belanja sektor kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial guna mendorong pembangunan yang inklusif.
Perlambatan ekonomi global dan domestik tentu saja mempengaruhi penerimaan negara, terutama dari sektor pajak dan ekspor. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan ketidakpastian global juga mempengaruhi arus masuk pendapatan negara.
Ketidakpastian global tersebut membuat perdagangan internasional terganggu, dan permintaan ekspor dari Indonesia menurun, terutama ekspor barang manufaktur, tekstil, dan elektronik Indonesia ke pasar global ikut tertekan, sehingga menyebabkan penerimaan pajak dari sektor industri manufaktur menurun.
Baca juga: Sesuai target, realisasi sementara APBN 2024 defisit 2,29 persen
Dampak terhadap ekonomi makro
Defisit APBN yang besar, jika dibiarkan berlarut-larut, dapat berdampak pada perekonomian Indonesia secara luas. Beberapa dampak utama antara lain meningkatnya utang negara, nilai tukar rupiah, serta penurunan kualitas infrastruktur dan pelayanan publik.
Salah satu konsekuensi langsung dari defisit anggaran adalah peningkatan utang negara. Indonesia harus mencari pembiayaan melalui penerbitan obligasi negara atau pinjaman luar negeri. Peningkatan utang ini dapat membebani anggaran negara di masa depan, terutama dalam hal pembayaran bunga utang yang terus meningkat.
Defisit yang besar dapat menimbulkan kekhawatiran di pasar keuangan dan mengurangi kepercayaan investor terhadap stabilitas fiskal Indonesia. Hal ini dapat berujung pada pelemahan nilai tukar rupiah, yang berpotensi menyebabkan inflasi impor dan meningkatkan harga barang-barang yang bergantung pada impor.
Sementara itu, ketergantungan pada utang untuk membiayai defisit anggaran dapat mengurangi alokasi untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan pelayanan publik yang sangat dibutuhkan. Jika pemerintah terus mengalihkan fokus ke pembiayaan utang, maka kualitas layanan publik dan proyek infrastruktur yang belum selesai dapat terhambat.
Menghadapi defisit APBN yang besar pada awal tahun 2025, Indonesia harus melewati beberapa tantangan penting untuk memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas fiskal ke depan.
Salah satu langkah utama yang harus diambil adalah memperkuat reformasi perpajakan. Pemerintah perlu meningkatkan efisiensi dalam sistem perpajakan, memperluas basis pajak, dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Selain itu, diversifikasi sumber pendapatan negara, dengan mengurangi ketergantungan pada sektor komoditas, harus menjadi prioritas utama.
Pemerintah juga perlu melakukan efisiensi dalam belanja negara, mengutamakan program-program yang mendukung pertumbuhan jangka panjang, seperti pembangunan infrastruktur dan pendidikan. Prioritas alokasi anggaran juga harus diarahkan pada sektor-sektor yang dapat meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia, seperti teknologi, riset, dan inovasi.
Kemudian, penurunan ketergantungan pada utang. Meskipun utang negara adalah instrumen yang sah untuk membiayai defisit, namun ketergantungan yang tinggi pada utang harus dihindari. Pemerintah perlu menciptakan kebijakan fiskal yang dapat mengurangi defisit anggaran dalam jangka panjang, seperti meningkatkan pendapatan negara dan mengoptimalkan belanja negara tanpa mengabaikan prioritas pembangunan.
Selain itu, kepercayaan investor terhadap Indonesia harus dipertahankan melalui kebijakan yang transparan dan berkelanjutan. Pemerintah harus menunjukkan komitmen untuk mengurangi defisit anggaran dan menjaga stabilitas fiskal. Menjaga stabilitas moneter dan memitigasi volatilitas pasar menjadi tantangan penting dalam mempertahankan kepercayaan ekonomi domestik dan internasional.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia diharapkan dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan stabilitas fiskal yang lebih baik dalam jangka panjang.
Baca juga: Komitmen menjaga APBN tetap dalam koridor
Baca juga: APBN defisit Rp31,2 T, ekonom sebut perlunya reformasi fiskal
*) Dr. M. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi
Copyright © ANTARA 2025