Menguatkan BSN, menguatkan daya saing Indonesia di pentas global

5 hours ago 4

Jakarta (ANTARA) - Dinamika global hari ini menuntut bangsa-bangsa untuk memperkuat daya saingnya secara lebih sistemik. Ketegangan geopolitik, disrupsi teknologi, perubahan rantai pasok global, dan persaingan pasar yang kian ketat telah menjadi tantangan nyata.

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan potensi ekonomi besar, tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita harus menjadi pemain utama di panggung dunia.

Salah satu kunci untuk memenangkan persaingan ini adalah penguatan standardisasi nasional, dan Badan Standardisasi Nasional (BSN) memegang peran strategis dalam mewujudkannya.

Rapat dengar pendapat Komisi VII DPR RI dengan BSN pada 28 April 2025 memperlihatkan keseriusan anak bangsa untuk menjadikan standardisasi sebagai instrumen utama meningkatkan kualitas produk dan jasa nasional.

Dalam forum tersebut, Plt. Kepala BSN memaparkan program-program unggulan, seperti SNI Bina-UMK, penguatan pengakuan internasional untuk kegiatan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK), serta perluasan pengawasan produk yang beredar di pasar domestik.

Berlandaskan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2018 tentang Pengendalian Barang Berbahaya terhadap K3L, serta Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja APBN dan APBD, BSN mengemban amanat penting untuk menjaga mutu dan melindungi konsumen, sekaligus meningkatkan daya saing industri nasional.

Dalam kerangka global, BSN juga aktif mengikuti ketentuan Technical Barriers to Trade (TBT) WTO agar produk Indonesia mampu menembus pasar dunia dengan memenuhi standar internasional.

Program SNI Bina-UMK adalah contoh bagaimana standardisasi dipakai untuk mendorong pelaku usaha kecil dan mikro (UMK) naik kelas.

Dengan target 1,15 juta UMK tersertifikasi SNI pada 2025, BSN sedang menggerakkan transformasi besar di sektor usaha rakyat, namun tantangan yang dihadapi juga tidak kecil. Proses sertifikasi yang dianggap rumit dan mahal, kurangnya sosialisasi, hingga lemahnya pengawasan terhadap produk impor dan e-commerce, menjadi perhatian serius Komisi VII DPR RI.

Sebagai bangsa besar, kita perlu menyadari bahwa standardisasi bukanlah sekadar formalitas administratif. Ia adalah jaminan mutu, pelindung konsumen, serta "paspor" bagi produk nasional menembus pasar global. Tanpa standar yang kuat, produk Indonesia akan sulit bersaing, dan pasar domestik bisa dibanjiri produk-produk luar negeri yang murah, namun berkualitas rendah.

Dalam konteks ini, beberapa langkah strategis perlu segera ditempuh.

Pertama, penyederhanaan prosedur sertifikasi harus menjadi prioritas, terutama bagi UMKM. Proses sertifikasi harus berbasis pendekatan risiko. Produk dengan risiko rendah seharusnya mendapatkan jalur sertifikasi yang lebih cepat dan lebih sederhana. Ini penting agar UMKM tidak merasa terbebani.

Kedua, penyediaan insentif sertifikasi melalui subsidi biaya atau skema pembiayaan khusus untuk UMKM strategis. Tidak semua pelaku usaha mampu menanggung biaya sertifikasi, sehingga keberpihakan pemerintah melalui BSN sangat dibutuhkan untuk mendorong partisipasi mereka.

Ketiga, sosialisasi masif tentang pentingnya SNI harus digencarkan. Pemanfaatan media sosial, platform daring, serta kerja sama dengan pemda, lembaga pendidikan, dan asosiasi usaha harus diperluas. Standardisasi harus dibangun menjadi kesadaran kolektif, bukan sekadar regulasi teknis.

Keempat, pengawasan ketat terhadap produk impor dan marketplace menjadi keniscayaan. Produk impor yang masuk tanpa memenuhi standar harus ditertibkan. Platform e-commerce juga harus diwajibkan untuk menjual produk-produk yang sudah memenuhi standar minimal nasional.

Kelima, penguatan peran BSN di sektor strategis, seperti kesehatan, infrastruktur, dan energi harus dipercepat. Standardisasi alat kesehatan, rumah sakit, layanan publik, hingga sektor energi baru terbarukan harus menjadi agenda utama BSN ke depan.

Keenam, transparansi dan akuntabilitas anggaran menjadi bagian integral dalam reformasi internal BSN. Setiap program harus berbasis hasil (outcome-based) dengan tolok ukur yang jelas, terukur, dan dilaporkan secara berkala kepada publik dan DPR.

Namun, lebih dari sekadar reformasi teknis, BSN perlu membangun citra baru sebagai lembaga penggerak inovasi dan daya saing nasional. Dalam era Revolusi Industri 4.0 dan perdagangan bebas, negara yang kuat bukanlah negara yang besar secara geografis, melainkan negara yang mampu membangun ekosistem mutu dan inovasi di semua sektor.

Kita perlu belajar dari negara-negara maju yang menjadikan standardisasi sebagai instrumen nasionalisme ekonomi. Jepang, Korea Selatan, hingga Jerman, menjadikan standar produk mereka sebagai simbol kualitas global. Indonesia juga mampu. Dengan penguatan BSN dan komitmen kolektif seluruh elemen bangsa, kita dapat menjadikan SNI sebagai jaminan keunggulan produk-produk nasional.

Optimisme ini bukanlah mimpi kosong. Setiap produk UMK yang berhasil menembus pasar ekspor, setiap alat kesehatan buatan lokal yang dipakai rumah sakit dalam negeri, setiap produk nasional yang bersaing di marketplace global, adalah bukti bahwa kerja keras ini membuahkan hasil nyata.

Saatnya kita memperkuat tekad. Dengan memperkuat BSN, kita memperkuat fondasi pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan memperluas budaya standardisasi, kita membuka jalan bagi kesejahteraan rakyat. Dengan membangun ekosistem mutu, kita membangun masa depan Indonesia sebagai negara maju, berdaulat, dan diperhitungkan dunia.

Sudah saatnya kita jadikan SNI bukan sekadar simbol formalitas, melainkan lambang kebanggaan nasional. Kita buktikan bahwa standardisasi adalah jalan mulia menuju kejayaan bangsa.

*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati hukum ekonomi politik dan peneliti industri strategis. Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI yang membidangi Industri, UMKM, ekonomi kreatif, dan lembaga penyiaran publik

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |