Mengenal kepercayaan Sunda Wiwitan yang lahir di tanah Pasundan

6 hours ago 3

Jakarta (ANTARA) - Kepercayaan Sunda Wiwitan merupakan salah satu aliran kepercayaan lokal yang lahir dan berkembang di tanah Pasundan. Ajaran ini memiliki akar historis panjang, jauh sebelum hadirnya agama-agama besar seperti Hindu, Islam, dan Kristen di wilayah Nusantara.

Dalam ajaran Sunda Wiwitan, sosok yang dipercaya sebagai Tuhan Yang Maha Esa dikenal dengan nama Sang Hyang Kersa atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki).

Kepercayaan ini dipahami sebagai jalan hidup dan pedoman moral bagi penganutnya. Meski tergolong aliran kepercayaan, masyarakat adat seperti komunitas Kanekes (Badui) menganggap Sunda Wiwitan sebagai agama mereka, bahkan menyebutnya sebagai "Slam Sunda Wiwitan", yang dalam dialek mereka, “Slam” dimaknai sebagai Islam, meskipun ajarannya tetap berdiri secara independen.

Konsep ketuhanan dan struktur alam

Sunda Wiwitan mengenal konsep monoteisme purba yang meyakini keberadaan satu Dzat Maha Kuasa, Sang Hyang Kersa, yang tidak berwujud namun menjadi sumber dari segala kehidupan. Dalam sistem kepercayaannya, alam semesta dibagi ke dalam tiga lapisan utama:

  • Buana Nyungcung: Alam tertinggi tempat bersemayamnya Sang Hyang Kersa;
  • Buana Panca Tengah: Alam tempat tinggal manusia dan makhluk hidup lainnya;
  • Buana Larang: Alam paling bawah yang disebut sebagai neraka.

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah, terdapat 18 lapisan alam spiritual. Di antaranya terdapat Mandala Hyang dan Alam Kahyangan, tempat tinggal tokoh suci seperti Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu. Sang Hyang Kersa juga diyakini menurunkan tujuh batara di bumi, salah satunya Batara Cikal yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes.

Baca juga: Masyarakat Sunda Wiwitan patungan beli tanah leluhur

Ajaran moral dan nilai kehidupan

Filosofi Sunda Wiwitan bertumpu pada dua prinsip utama, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa. Cara Ciri Manusia mencakup lima nilai dasar: welas asih (kasih sayang), undak usuk (tatanan keluarga), tata krama, budi bahasa dan budaya, serta wiwaha yudha naradha (sifat bijak dalam bertindak).

Sementara Cara Ciri Bangsa menggarisbawahi perbedaan antarmanusia yang terdiri dari unsur rupa, adat, bahasa, aksara, dan budaya. Prinsip-prinsip ini tidak tertulis secara eksplisit dalam kitab suci Sunda Wiwitan yang dikenal dengan Sanghyang Siksa Kandang Karesian (Kropak 630), namun dijalankan secara turun temurun dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Tabu utama yang diajarkan dalam ajaran ini sederhana, yakni larangan melakukan hal yang tidak disenangi orang lain, membahayakan orang lain, dan membahayakan diri sendiri. Namun dalam perkembangannya, muncul berbagai larangan tambahan terutama bagi masyarakat Baduy Dalam, sebagai bentuk penghormatan terhadap tempat suci dan tradisi leluhur.

Tradisi, upacara, dan tempat suci

Penganut Sunda Wiwitan menyampaikan doa dan syukur melalui pantun, kidung, dan tarian tradisional. Salah satu tradisi penting adalah perayaan Seren Taun, yang merupakan bentuk syukur atas hasil panen dan penanda pergantian tahun berdasarkan penanggalan Sunda. Perayaan ini rutin digelar di sejumlah daerah seperti Kanekes (Banten), Cigugur (Kuningan), dan Kampung Naga (Tasikmalaya).

Tempat-tempat suci dalam ajaran ini dikenal sebagai pamunjungan atau kabuyutan, seperti Situs Genter Bumi, Gunung Padang, Kawali, dan bekas pamunjungan di Pakuan Pajajaran (Bogor). Kabuyutan biasanya berbentuk punden berundak dan dianggap sebagai lokasi keramat tempat penghormatan kepada arwah leluhur.

Baca juga: Pembangunan makam tokoh Sunda Wiwitan dihentikan karena tak ada IMB

Diskriminasi dan upaya perlindungan

Meski telah eksis jauh sebelum masuknya agama-agama besar, penganut Sunda Wiwitan masih menghadapi diskriminasi. Salah satu contohnya terjadi pada 20 Juli 2020, saat area pemakaman penganut Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan disegel oleh aparat dan warga dengan alasan tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Pemerintah setempat juga menilai bangunan tersebut menyerupai tugu dan dianggap sebagai objek sesembahan, meski dibantah oleh tokoh penganutnya, Juwita Djati Kusuma Putri.

Juwita menegaskan bahwa bangunan tersebut adalah makam leluhur dan bagian dari kepercayaan Sunda Wiwitan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Ia menyatakan bahwa Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang lebih dahulu hadir di tanah Sunda sebelum agama lain datang.

Warisan budaya dan identitas Sunda

Meski banyak orang Sunda kini memeluk agama formal seperti Islam, nilai-nilai luhur Sunda Wiwitan masih terwariskan dalam adat, budaya, dan cara hidup masyarakat Sunda. Ajaran ini dianggap sebagai agama asli yang memperkaya khazanah kebudayaan Nusantara dan menjadi identitas spiritual masyarakat Sunda.

Dengan keberadaan ribuan situs pamunjungan di Tatar Sunda, Sunda Wiwitan menjadi bukti sejarah penting bahwa masyarakat Sunda pernah memiliki sistem kepercayaan sendiri yang terstruktur dan berkembang sebelum era kerajaan Hindu-Buddha maupun kedatangan Islam.

Sebagai bagian dari warisan budaya tak benda, pelestarian ajaran dan tradisi Sunda Wiwitan menjadi tanggung jawab bersama demi menjaga kekayaan spiritual dan kearifan lokal bangsa Indonesia.

Baca juga: Masyarakat Sunda Wiwitan patungan beli tanah leluhur

Baca juga: Tetua Baduy minta agama Sunda Wiwitan dicantumkan

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |