Jakarta (ANTARA) - Kejawen atau yang juga dikenal dengan istilah Jawanisme merupakan sistem nilai spiritual dan kultural yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Pulau Jawa. Meski bukan tergolong agama, Kejawen memiliki pengaruh yang besar terhadap cara pandang, sikap hidup, dan tata krama masyarakat Jawa.
Ajaran Kejawen tidak dapat dipisahkan dari proses sejarah panjang kebudayaan Jawa yang mengalami akulturasi antara kepercayaan asli Nusantara, seperti animisme dan dinamisme, dengan ajaran agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen.
Sebelum masuknya agama-agama tersebut, masyarakat Jawa telah mempraktikkan bentuk kepercayaan terhadap roh leluhur, kekuatan alam, dan praktik perdukunan.
Ajaran Kejawen tumbuh bukan sebagai agama baru, melainkan sebagai filosofi hidup yang berakar pada kebudayaan lokal. Ia menekankan pentingnya keselarasan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Prinsip utama Kejawen dikenal dengan istilah Sangkan Paraning Dumadi, yang berarti menyadari dari mana asal-usul manusia dan ke mana ia akan kembali—sebuah refleksi mendalam tentang hubungan antara makhluk dan Tuhan.
Kejawen berkembang seiring dengan agama yang dianut oleh masyarakat Jawa. Oleh karena itu, muncul terminologi seperti Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Buddha Kejawen, hingga Kristen Kejawen.
Baca juga: Yogyakarta gelar delapan kompetisi lestarikan sastra Jawa
Meskipun berbeda agama, pengikut masing-masing kepercayaan tetap menjalankan nilai-nilai dan tradisi Kejawen selama tidak bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Hal ini menunjukkan fleksibilitas Kejawen dalam menerima keberagaman dan menjaga harmoni sosial.
Salah satu nilai penting dalam Kejawen adalah tata krama, yakni aturan hidup luhur yang menjadi fondasi perilaku orang Jawa. Filosofi ini banyak tertuang dalam berbagai karya sastra kuno seperti Kakawin, Macapat, Suluk, Babad, Kidung, Primbon, dan Piwulang.
Naskah-naskah tersebut ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa, dan diwariskan secara turun-temurun sebagai pedoman hidup yang mengajarkan etika, spiritualitas, hingga praktik keseharian masyarakat Jawa.
Tradisi Kejawen juga masih lestari dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Beberapa di antaranya adalah ritual nyadran (ziarah kubur menjelang Ramadan), mitoni (ritual tujuh bulan kehamilan pertama), tedhak siten (upacara bayi turun tanah), serta wetonan (peringatan hari kelahiran menurut penanggalan Jawa).
Tradisi-tradisi ini memperlihatkan bagaimana ajaran Kejawen terus hidup dalam budaya masyarakat, meskipun makna filosofisnya mulai terlupakan oleh generasi muda.
Secara historis, Kejawen mengalami transformasi besar ketika para Wali Sanga memperkenalkan Islam ke Pulau Jawa dengan pendekatan budaya dan spiritual. Para wali memadukan tasawuf Islam dengan ajaran dan simbol-simbol Kejawen untuk memudahkan proses dakwah.
Baca juga: Wamendikbud: Bahasa Jawa inspirasi Indonesia
Pendekatan ini dikenal halus dan damai, sehingga masyarakat Jawa yang masih memegang teguh kepercayaan lama dapat menerima Islam tanpa meninggalkan akar budayanya.
Beberapa aliran Kejawen yang berkembang hingga kini antara lain Pangestu, Sumarah, Maneges, Jowo Sanyoto, Kawruh Begia, hingga Sapta Dharma. Tiap aliran memiliki penekanan ajaran yang berbeda, namun secara umum berfokus pada pembentukan pribadi yang hanjawani (berbudi pekerti luhur) dan upaya mencapai keseimbangan hidup melalui kedekatan dengan Tuhan.
Di tengah perkembangan zaman dan modernisasi, Kejawen memang mulai ditinggalkan oleh sebagian kalangan dan bahkan dianggap kuno. Namun demikian, nilai-nilai luhur dalam Kejawen yang menjunjung etika, keselarasan, dan spiritualitas tetap relevan untuk dipelajari dan dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Sebagai warisan tak benda dari peradaban Nusantara, Kejawen bukan hanya tentang ritual atau simbol semata, tetapi tentang jati diri dan filsafat hidup masyarakat Jawa.
Oleh karena itu, sudah semestinya generasi muda diberi pemahaman yang benar tentang akar dan makna ajaran Kejawen, agar warisan budaya ini tidak hilang ditelan zaman, tetapi tetap hidup sebagai bagian dari identitas bangsa, demikian dirangkum dari berbagai sumber.
Baca juga: Dirjen Kebudayaan sebut generasi muda tombak pemajuan budaya batik
Baca juga: Aksara Jawa di ruang digital permudah komunikasi tak sekadar dekorasi
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025