Mengapa Kebenaran Sejarah Perang Dunia II Tidak Boleh Dibelokkan

4 hours ago 2

Beijing (ANTARA) - Tahun ini menandai peringatan 80 tahun kemenangan dalam Perang Dunia II (PD II). Presiden China Xi Jinping melakukan lawatan ke Rusia pada Rabu (7/5) dalam rangka kunjungan kenegaraan sekaligus menghadiri peringatan 80 tahun Kemenangan dalam Perang Patriotik Raya Uni Soviet.

Peringatan ini menjadi pengingat yang kuat tentang kebrutalan perang, perdamaian dan stabilitas yang sangat berharga dan diperoleh dengan susah payah, serta pentingnya kebenaran sejarah, terlebih di saat dunia sedang bergulat menghadapi kebangkitan unilateralisme, koersi ekonomi, dan mentalitas hegemonik.

Satu hal yang mengkhawatirkan adalah bahwa dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi upaya berulang untuk membelokkan atau menyangkal warisan kemenangan PD II. Upaya-upaya tersebut, yang memicu kritik dan kekhawatiran luas, mengingatkan dunia tentang pentingnya menjaga integritas sejarah PD II.

SIAPA YANG MEMBELOKKAN SEJARAH PERANG DUNIA II?

Beberapa tahun belakangan, politisi dari negara-negara tertentu berusaha meraih keuntungan politik dengan memanipulasi kebenaran sejarah.

"Kita sedang menyaksikan upaya yang terus meningkat untuk merehabilitasi Nazisme dan supremasi rasial, mengagung-agungkan Nazi dan kolaboratornya, serta menghidupkan kembali praktik diskriminasi rasial, xenofobia, dan intoleransi terkait," kata Juru Bicara (Jubir) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Rusia Maria Zakharova kepada Xinhua dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

Pada Maret, Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Pete Hegseth, saat menghadiri upacara peringatan di Iwo Jima untuk menghormati mereka yang gugur dalam salah satu pertempuran penting PD II, menyampaikan bahwa Jepang merupakan mitra yang tak tergantikan untuk mengatasi "agresi China" dan memuji "keberanian" para tentara Jepang.

Pernyataan Hegseth itu memicu kritik tajam. Banyak pihak menganggapnya sebagai upaya untuk menutup-nutupi militerisme Jepang selama PD II. Komentar Hegseth juga dinilai sebagai pengkhianatan terhadap mereka yang mengorbankan nyawa dalam perjuangan antifasis.

Upaya-upaya semacam itu, yang membelokkan atau menyangkal sejarah Perang Anti-Fasis Dunia, bukanlah hal yang baru.

Setelah PD II, ketika Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet kian memanas, Washington memilih untuk mendukung Jepang sebagai pengimbang strategis di Asia. Dengan demikian, sisa-sisa fasisme Jepang tidak sepenuhnya diberantas.

Hingga saat ini, beberapa politisi sayap kanan Jepang masih menolak untuk meninggalkan masa lalu militeristis Jepang, dan bahkan mempertanyakan atau menyangkal hasil perang tersebut.

Mereka terus memberikan penghormatan kepada Kuil Yasukuni yang terkenal kejam, yang memuliakan 14 terpidana penjahat perang Jepang Kelas A pada masa PD II. Mereka juga merevisi buku pelajaran sejarah siswa sekolah menengah untuk mengentengkan kekejaman Jepang selama masa perang, serta menyangkal perekrutan paksa "wanita penghibur" oleh militer Jepang selama PD II.

"Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang secara sembrono mengutak-atik buku pelajaran, dan teori bahwa tidak adanya rasa bersalah atas agresi memiliki pasar yang cukup besar di Jepang," ujar Sun Huixiu, seorang lektor kepala di Fakultas Sejarah di Beijing Normal University.

Pembelokan sejarah serupa juga terjadi di Barat. Ada upaya-upaya yang dilakukan oleh beberapa negara Barat untuk menyepelekan atau bahkan sepenuhnya menyangkal peran Tentara Merah dan rakyat Soviet dalam kemenangan atas Nazisme.

Sebuah survei yang dilakukan oleh IFOP, sebuah lembaga riset pasar internasional, pada Mei 1945 menunjukkan bahwa 57 persen orang Prancis menganggap Uni Soviet sebagai pihak yang memberikan kontribusi terbesar dalam mengalahkan Nazi, dibandingkan dengan hanya 20 persen yang mendukung AS dan 12 persen yang mendukung Inggris.

Namun, pada 2018, survei YouGov menunjukkan pergeseran drastis dalam persepsi publik: 56 persen orang Prancis percaya bahwa AS memainkan peran paling penting, 11 persen menyebut Inggris, dan hanya 15 persen yang mengakui kontribusi Rusia.

MENGAPA KEBENARAN SEJARAH BEGITU PENTING?

Selama konflik militer paling mematikan dalam sejarah umat manusia 80 tahun yang lalu itu, lebih dari 80 negara dan kawasan, yang melibatkan sekitar dua miliar jiwa, terseret ke dalam perang. Lebih dari 100 juta orang di seluruh dunia tewas atau mengalami luka-luka, dan nilai kerugian ekonomi global menembus 4 triliun dolar AS (1 dolar AS = Rp16.533).

Untuk menangkal agresi fasis, lebih dari 50 negara, termasuk China dan Uni Soviet, membentuk front persatuan. Sebagai palagan utama di Timur selamaPerang Anti-Fasis Dunia, China membayar dengan harga yang mahal -- lebih dari 35 juta warganya tewas dalam perjuangan melawan mayoritas tentara dari militerisme Jepang.

Pesawat terbang dalam formasi di atas Lapangan Merah selama latihan untuk parade militer Hari Kemenangan, yang menandai peringatan 80 tahun Kemenangan dalam Perang Patriotik Raya, di Moskow, Rusia, 5 Mei 2025. (Xinhua/Zhai Jianlan)

Melestarikan kebenaran sejarah merupakan bentuk penghormatan yang paling bermakna bagi prajurit dan warga sipil yang tewas selama PD II. Hal itu juga menjadi landasan bagi rekonsiliasi antara negara-negara yang sebelumnya terlibat perang.

"Bagaimana semestinya kita menyikapi dosa Holokaus yang harus kita tanggung? Memaknai masa lalu dapat menjadi prasyarat untuk rekonsiliasi," ujar mantan kanselir Jerman Angela Merkel dalam lawatannya ke Jepang pada 2015.

Lebih penting lagi, seperti yang dinyatakan oleh Xi Jinping dalam debat umum sesi ke-70 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2015, sejarah merupakan cermin, dan hanya dengan memetik pelajaran dari sejarah, dunia dapat terhindar dari pengulangan bencana masa lalu.

Pasca-PD II, kubu Sekutu menggelar Pengadilan Nuremberg dan Tokyo. Dalam pengadilan tersebut, untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, para penjahat perang diadili di hadapan pengadilan internasional dan dijatuhi hukuman yang setimpal, keadilan internasional ditegakkan, dan peringatan keras kepada kekuatan fasis ditegaskan.

Dengan kemenangan PD II, para anggota utama aliansi anti-fasis secara bersama-sama memprakarsai pendirian PBB dan merumuskan serangkaian dokumen internasional penting, termasuk Deklarasi Kairo, Proklamasi Potsdam, dan Piagam PBB, yang meletakkan dasar bagi tatanan internasional modern dan menetapkan norma-norma dasar yang mengatur hubungan internasional kontemporer.

"Instrumen-instrumen tersebut membantu menuntut pertanggungjawaban kejahatan para fasis, dan melalui serangkaian kerangka kerja institusional, instrumen-instrumen tersebut secara efektif memasang 'kunci pengaman' di dunia pascaperang untuk membantu memelihara perdamaian," ujar He Lei, mantan wakil presiden Akademi Ilmu Militer Tentara Pembebasan Rakyat (People's Liberation Army/PLA) China, dalam sebuah artikel.

Sejak berakhirnya PD II, dunia menyaksikan tingkat kemakmuran global yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia berkat era yang sebagian besar dalam situasi damai. "Kita perlu mengingat sejarah PD II dengan sungguh-sungguh serta memelihara tatanan politik dan ekonomi dunia," ujar Sun.

"Saat ini, tampaknya tidak ada pihak yang menyangkal bahwa kemenangan atas fasisme dan militerisme adalah salah satu pencapaian terbesar umat manusia pada abad ke-20," tutur Kirill Babayev, direktur Institut China dan Asia Modern di Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia.

Hal itu menggarisbawahi bahwa Rusia dan China harus tetap berada di garis terdepan dalam melestarikan kenangan ini, urai Babayev.

"Dalam agenda global, kita harus menegakkan posisi yang menuntut penghormatan penuh atas kebenaran sejarah, menolak pembelokannya, dan yang paling utama, melindungi kenangan mereka yang tewas selama PD II sembari mempertahankan kebebasan kita," imbuhnya.

Penerjemah: Xinhua
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |