Menata ulang skema KUR dan penghapusan piutang demi UMKM naik kelas

4 hours ago 3
Jika tidak ada ruang pemulihan bagi kelompok rentan rendah pendapatan, maka konsekuensinya bukan hanya stagnasi ekonomi, tetapi juga keterjebakan dalam lingkaran pembiayaan ilegal yang semakin marak

Jakarta (ANTARA) - Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan penghapusan piutang macet kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan dua instrumen strategis dalam kebijakan afirmatif negara terhadap ekonomi rakyat.

Program KUR dirancang sebagai kebijakan subsidi silang negara untuk mendorong inklusi keuangan dan penguatan daya saing ekonomi masyarakat kecil. Dalam struktur dasarnya, negara menanggung sebagian bunga pinjaman melalui skema subsidi, agar UMKM dapat memperoleh modal usaha dengan syarat yang ringan, cepat, dan mudah.

Maka dari itu, penting dipahami bahwa KUR bukanlah produk perbankan biasa yang sepenuhnya dikendalikan oleh mekanisme pasar. Fatsoen pemerintah untuk KUR adalah instrumen kebijakan publik yang digerakkan dengan dana dan mandat negara.

Namun, berdasarkan pengamatan publik atas proses-proses kebijakan yang berlangsung secara terbuka, sejumlah persoalan serius muncul, baik dalam tataran implementasi teknis maupun dalam konsistensi nilai yang mendasarinya.

Di lapangan, berbagai pelaku UMKM masih menghadapi hambatan yang semestinya tidak ada dalam skema yang bersifat afirmatif.

Salah satu persoalan paling mendasar adalah masih adanya permintaan agunan tambahan untuk pinjaman KUR di bawah Rp100 juta, padahal peraturan menyatakan bahwa kelayakan usaha cukup menjadi dasar pertimbangan.

Hal ini menunjukkan bahwa semangat KUR sebagai program keberpihakan telah dikerdilkan menjadi sekadar produk pinjaman konvensional, yang diperlakukan bank seperti kredit komersial lainnya.

Logika komersialisasi ini sangat bertentangan dengan esensi KUR. Ketika bank tetap mempersyaratkan jaminan tambahan, melakukan BI checking yang kaku, atau menolak debitur hanya karena tidak memiliki catatan kredit sebelumnya, maka yang terjadi adalah eksklusi struktural terhadap masyarakat yang justru paling membutuhkan dukungan.

Baca juga: Wamen: KUR harus dukung UMKM sektor produksi demi entaskan kemiskinan

Baca juga: Realisasi penyaluran KUR Bank Mandiri kuartal I-2025 Rp12,83 triliun

Ini menyalahi tujuan utama KUR untuk memperluas akses keuangan kepada kelompok yang tidak terlayani oleh perbankan.

Beberapa perwakilan lembaga keuangan memang telah menyatakan bahwa mereka mematuhi ketentuan KUR tanpa agunan tambahan dan bahkan menindak pelanggaran internal. Tetapi, tanpa pengawasan aktif dan sistem pelaporan yang transparan, komitmen semacam ini cenderung menjadi retorika belaka. Pengawasan oleh otoritas keuangan, kementerian teknis, serta pelibatan masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk menjaga agar KUR tidak mengalami komersialisasi terselubung.

Pada sisi lain, kebijakan penghapusan piutang macet kepada UMKM yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2024 juga menghadapi tantangan besar dalam pelaksanaannya. Meski terdapat potensi lebih dari 1 juta debitur dengan piutang macet sebesar Rp14,8 triliun, hanya sebagian kecil yang dapat diproses karena adanya ketentuan teknis, seperti keharusan telah dilakukan restrukturisasi terlebih dahulu. Per April 2025, realisasi kebijakan ini bahkan belum mencapai 20 persen dari potensi yang ada.

Kebijakan penghapusan piutang seharusnya dimaknai sebagai bagian dari pemulihan struktural UMKM pasca-pandemi dan krisis ekonomi. Keputusan negara bukan semata-mata soal keringanan beban finansial, tetapi juga tentang keadilan sosial.

Banyak pelaku UMKM yang telah berusaha keras melunasi utang, tetapi gagal karena kondisi yang di luar kendali. Jika tidak ada ruang pemulihan bagi kelompok rentan rendah pendapatan, maka konsekuensinya bukan hanya stagnasi ekonomi, tetapi juga keterjebakan dalam lingkaran pembiayaan ilegal yang semakin marak.

Oleh karena itu, pendekatan pasca-hapus tagih harus diarahkan untuk reintegrasi pelaku usaha ke dalam sistem pembiayaan formal. Artinya, UMKM yang piutangnya telah dihapus tidak boleh didiskriminasi dalam akses pembiayaan di masa depan, selama mereka menunjukkan kemauan dan kelayakan usaha. Pendampingan intensif, pelatihan kewirausahaan, serta kemudahan administrasi menjadi kunci utama dalam proses ini.

Lebih jauh, KUR dan penghapusan piutang bukan hanya soal regulasi, tetapi juga soal paradigma. Bila keduanya tetap diperlakukan sebagai alat komersialisasi, baik oleh perbankan maupun oleh aktor kebijakan lain, maka esensi kehadiran negara akan sirna. Padahal, program ini seharusnya menjadi simbol nyata bahwa negara tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi sebagai pelindung dan penggerak ekonomi rakyat.

Ke depan, diperlukan beberapa langkah strategis dan implementatif. Pertama, penguatan sistem pelaporan dan pengaduan publik yang memungkinkan masyarakat melaporkan langsung pelanggaran atau penyimpangan KUR.

Kedua, percepatan penyusunan aturan pengganti dari PP 47/2024 agar seluruh potensi hapus tagih dapat direalisasikan dalam waktu yang tersisa.

Ketiga, integrasi data dan kebijakan antara KUR dan penghapusan piutang, sehingga proses pemulihan UMKM dapat berlanjut secara berkesinambungan.

Keempat, perluasan partisipasi Bank Pembangunan Daerah dan lembaga keuangan mikro lokal dalam program KUR dapat menjadi terobosan penting. Bank-bank daerah memiliki jaringan sosial dan pengetahuan lokal yang lebih baik untuk menjangkau UMKM yang selama ini tidak tersentuh oleh bank besar. Namun, dukungan likuiditas dan pembenahan tata kelola juga harus berjalan bersamaan.

Dalam krisis ekonomi global dan tekanan fiskal nasional, UMKM menjadi tulang punggung yang paling bisa diandalkan. Maka menjaga integritas kebijakan KUR dan penghapusan piutang adalah tanggung jawab bersama seluruh pemangku kepentingan.

Tidak boleh ada kompromi terhadap komersialisasi, manipulasi, atau pengabaian nilai-nilai keberpihakan. Negara harus tetap menjadi garda depan dalam membela ekonomi rakyat.

Baca juga: Lembaga penyalur diminta utamakan kualitas penyaluran KUR ke UMKM

Baca juga: Menteri UMKM: Realisasi KUR triwulan I capai Rp57,51 triliun

Baca juga: Menteri Maman: Presiden ingin agar penyaluran KUR tetap berkualitas

*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati hukum ekonomi politik dan peneliti industri strategis. Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI yang membidangi Industri, UMKM, ekonomi kreatif, dan lembaga penyiaran publik.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |