Jakarta (ANTARA) - Perubahan besar dalam sistem perpajakan Indonesia tengah berlangsung, bukan hanya di permukaan, melainkan di jantung administrasinya. Setelah lebih dari satu dekade mengandalkan sistem elektronik yang terpisah-pisah, kini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan Coretax Administration System, yakni sebuah sistem terpadu yang disebut sebagai fondasi baru bagi manajemen pajak modern.
Di luar konteks teknologinya, langkah ini menandai perubahan yang lebih mendasar, yaitu lahirnya paradigma baru dalam administrasi pajak yang berorientasi pada data, transparansi, dan efisiensi.
Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah mulai menata ulang sistem administrasi perpajakan nasional dengan mengembangkan Coretax Administration System. Sistem ini dirancang sebagai tulang punggung baru manajemen perpajakan Indonesia yang mengintegrasikan seluruh proses, mulai dari pendaftaran, hingga penegakan hukum, ke dalam satu ekosistem digital. Di balik lapisan teknologinya, coretax mencerminkan arah baru dalam kebijakan fiskal: pajak yang dikelola melalui data, bukan sekadar dokumen; diawasi dengan sistem, bukan hanya dengan petugas.
Transformasi digital fiskal bukanlah tren yang muncul tiba-tiba. Ia lahir dari kebutuhan untuk memperbaiki sistem perpajakan yang selama ini masih berlapis, lambat, dan sering kali menyulitkan wajib pajak.
Dengan populasi wajib pajak yang terus bertambah, serta kompleksitas transaksi ekonomi yang semakin digital, sistem lama jelas tidak lagi memadai. Indonesia, seperti banyak negara berkembang lainnya, harus beradaptasi agar pengelolaan pajaknya mampu mengikuti kecepatan perubahan ekonomi.
Evolusi kelembagaan
Digitalisasi perpajakan bukan sekadar soal aplikasi atau platform daring. Ia merupakan bagian dari reformasi kelembagaan yang jauh lebih dalam: upaya menata ulang fondasi tata kelola fiskal agar lebih efisien, transparan, dan berkeadilan.
Melalui pengembangan Coretax Administration System, pemerintah berupaya membangun sistem yang tidak hanya menggantikan perangkat lama, tetapi juga menata ulang cara kerja, struktur, dan budaya organisasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dengan kata lain, transformasi ini bukan sekadar pembaruan perangkat lunak, melainkan evolusi kelembagaan yang menuntut perubahan menyeluruh dalam lima dimensi utama reformasi perpajakan.
Pilar pertama yang disentuh adalah organisasi. Digitalisasi menuntut struktur kelembagaan yang lebih ramping, adaptif, dan kolaboratif. DJP tidak lagi berfokus pada pembagian kerja berbasis fungsi administratif, melainkan pada integrasi lintas unit yang didorong oleh data dan analitik.
Model organisasi yang sebelumnya hirarkis, mulai digeser menuju model koordinatif, di mana pengambilan keputusan dapat dilakukan lebih cepat karena didukung oleh informasi real-time. Perubahan ini diharapkan mampu memperpendek rantai birokrasi, mengurangi duplikasi pekerjaan, dan meningkatkan akuntabilitas setiap level pelayanan pajak.
Pilar kedua menyangkut sumber daya manusia (SDM). Dalam sistem baru, aparatur pajak tidak lagi sekadar berperan sebagai petugas administrasi yang memproses dokumen, melainkan sebagai analis data dan penasihat kepatuhan.
Kompetensi yang dibutuhkan pun berubah: kemampuan digital, pemahaman terhadap analitik risiko, serta integritas dalam pengelolaan data menjadi lebih penting daripada sekadar kemampuan prosedural. Transformasi ini membutuhkan investasi besar dalam pendidikan dan pelatihan, agar aparatur pajak siap beradaptasi dengan logika baru yang berbasis data dan kecerdasan buatan.
Selanjutnya, pilar proses bisnis dan regulasi ikut mengalami perubahan mendasar. Sistem perpajakan yang sebelumnya terfragmentasi, kini diupayakan menyatu dalam alur digital yang saling terhubung. Prosedur manual, seperti pelaporan, pembayaran, atau pemeriksaan dirancang ulang agar terotomatisasi, efisien, dan mudah dilacak.
Regulasi pun perlu menyesuaikan diri dengan ekosistem digital ini. Aturan yang sebelumnya berbasis dokumen fisik harus diganti dengan norma hukum yang mengatur pertukaran data elektronik, perlindungan privasi, serta validitas transaksi digital. Dengan kerangka hukum yang lebih modern, digitalisasi dapat berjalan, tanpa mengorbankan aspek kepastian dan keadilan hukum.
Pilar terakhir adalah teknologi informasi (TI) itu sendiri yang merupakan jantung dari seluruh transformasi. Coretax bukan sekadar sistem komputerisasi, melainkan platform strategis yang mengintegrasikan seluruh data perpajakan dalam satu basis informasi nasional. Teknologi ini memungkinkan pengawasan berbasis risiko, analitik prediktif, serta interoperabilitas dengan lembaga lain, seperti Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Dalam jangka panjang, keberhasilan teknologi ini akan menentukan keberlanjutan empat pilar lainnya. Karena di balik setiap algoritma dan dashboard digital, tersimpan upaya besar untuk membangun akuntabilitas fiskal yang sesungguhnya yang bukan hanya cepat dan efisien, tetapi juga adil serta tepercaya.
Implikasi kepatuhan
Salah satu pertanyaan penting dalam reformasi ini adalah, apakah digitalisasi benar-benar mampu meningkatkan kepatuhan pajak? Tentu saja jawabannya bergantung pada dua faktor utama, yaitu keterhubungan data dan kepercayaan publik.
Dari sisi teknis, integrasi data memungkinkan deteksi dini terhadap ketidaksesuaian laporan. Sistem digital mampu mencocokkan data transaksi perbankan, laporan faktur pajak, dan data kepabeanan secara otomatis. Dengan mekanisme ini, negara tidak lagi harus menunggu pelaporan manual untuk menemukan ketidaksesuaian, melainkan bisa mengidentifikasi potensi pelanggaran secara real-time.
Langkah ini memperkuat efektivitas pengawasan, tanpa menambah beban administratif, sehingga mendorong munculnya compliance by design, kepatuhan yang terbentuk karena sistemnya memang dirancang untuk menutup celah pelanggaran.
Namun, dari sisi sosial, digitalisasi tidak akan efektif, tanpa rasa percaya. Dalam konteks perpajakan, kepercayaan adalah mata uang yang paling berharga. Masyarakat harus yakin bahwa data mereka aman, dikelola secara etis, dan tidak disalahgunakan.
Keamanan siber dan perlindungan data pribadi menjadi fondasi utama agar digitalisasi tidak menimbulkan kekhawatiran baru. Hal itu mengingat kredibilitas sistem digital akan terbangun, bukan hanya dari kecepatan layanan, tetapi juga dari transparansi tata kelola datanya.
Sehingga apabila tata kelolanya dijalankan dengan baik, digitalisasi dapat memperkuat keadilan fiskal. Lebih lanjut basis data yang terintegrasi memungkinkan kebijakan pajak yang lebih tepat sasaran, dan dalam hal ini, misalnya, dalam menentukan insentif usaha, memetakan sektor informal, dan atau mengidentifikasi potensi penerimaan baru dari ekonomi digital.
Dengan kata lain, teknologi membantu negara melihat ekonomi secara lebih utuh, bukan hanya dari laporan resmi yang kadang tidak mencerminkan kenyataan.
Kompleksitas transisi
Transformasi menuju administrasi pajak digital tentu tidak melulu berjalan mulus, tanpa hambatan. Ada bebarapa hal yang menjadi tantangan untuk dihadapi.
Literasi digital wajib pajak masih menjadi tantangan nyata. Tidak semua pelaku usaha atau individu memahami cara menggunakan sistem baru dengan lancar. Tanpa pendampingan yang memadai, sebagian masyarakat bisa tertinggal dalam proses adaptasi ini.
Kedua, infrastruktur digital nasional belum sepenuhnya merata. Wilayah dengan akses internet terbatas berpotensi kesulitan mengikuti sistem administrasi pajak yang sepenuhnya daring.
Di sisi lain, adaptasi kelembagaan di tubuh otoritas pajak juga menjadi kunci. Transformasi digital tidak bisa hanya dilakukan pada sistemnya, tetapi juga pada manusianya. Aparatur pajak perlu mengubah peran dari sekadar pelaksana administratif menjadi analis data dan penasihat kepatuhan. Untuk itu kemampuan membaca pola data, memahami analitik risiko, dan memanfaatkan big data akan menjadi kompetensi baru dalam birokrasi fiskal modern.
Selain itu, sinergi antarinstansi juga mutlak diperlukan. Tanpa keterhubungan dengan lembaga, seperti Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, integrasi data akan sulit terwujud. Koordinasi lintas lembaga menjadi fondasi agar digitalisasi tidak berhenti di level teknis, tetapi juga membentuk tata kelola fiskal yang kohesif.
Selanjutnya digitalisasi administrasi pajak juga memunculkan pertanyaan etis baru: sejauh mana negara berhak mengakses dan memanfaatkan data warganya? Pertanyaan ini penting karena di balik janji efisiensi, tersimpan potensi risiko pengawasan berlebihan jika data fiskal tidak diatur secara proporsional. Oleh karena itu, desain kebijakan digital harus selalu menempatkan hak privasi dan perlindungan data pribadi sebagai prinsip utama.
Keseimbangan antara efisiensi dan etika menjadi ujian bagi negara di era fiskal digital. Penggunaan data harus tunduk pada prinsip minimalisasi dan hanya digunakan untuk tujuan yang sah dan jelas.
Transparansi, audit trail, dan mekanisme pengawasan independen diperlukan agar masyarakat tetap memiliki kontrol terhadap informasi mereka. Sehingga apabila prinsip ini dijaga, digitalisasi justru bisa memperkuat legitimasi negara. Masyarakat akan melihat bahwa sistem pajak tidak hanya lebih cepat dan mudah, tetapi juga lebih adil dan dapat dipercaya. Di situlah titik balik kepercayaan fiskal akan dibangun.
Masa depan fiskal
Digitalisasi administrasi pajak menandai pergeseran besar dalam sejarah fiskal Indonesia. Perubahan ini tidak hanya mengubah cara negara mengelola pajak, tetapi juga cara masyarakat memahami kewajiban mereka terhadap negara. Sebelum inisiatif ini dilakukan, kepatuhan dibentuk melalui pengawasan dan sanksi. Sedangkan kini, kepatuhan bisa tumbuh melalui sistem yang sederhana, transparan, dan mudah diakses.
Meskipun demikian, tetap ada prinsip mendasar yang perlu menjadi perhatian dan disikapi bersama, bahwa teknologi hanyalah alat untuk membantu mencapai tujuan perubahan yang diharapkan. Sekali lagi faktor esensial yang menentukan keberhasilan dari upaya perubahan ini tetaplah manusia, baik di balik layar sistem, maupun di balik layar kebijakan.
Untuk itu, era baru administrasi pajak bukan sekadar tentang Coretax atau aplikasi digital, tetapi tentang membangun ulang kontrak sosial antara negara dan pembayar pajak di era data. Sebuah hubungan yang didasarkan bukan pada ketakutan, melainkan pada kepercayaan dan tanggung jawab bersama. Karena pada akhirnya, pajak yang dikelola dengan adil dan transparan bukan hanya sumber penerimaan negara, tetapi juga cermin kedewasaan sebuah bangsa dalam menata masa depannya.
*) Dr. M. Lucky Akbar, Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Kementerian Keuangan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.