Jakarta (ANTARA) - Beberapa minggu terakhir publik di Indonesia, khususnya para pemilik kendaraan bermotor, dibuat gundah gulana oleh adanya wacana kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang akan mewajibkan campuran etanol dalam bahan bakar minyak sebesar 10 persen, atau disebut E 10.
Sontak, kebijakan ini viral di jagat maya. Masyarakat khawatir kendaraan bermotornya akan kurang andal (ngempos) jika menggunakan BBM yang mengandung etanol. Konsumsi bahan bakar juga akan lebih boros, sehingga masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli bahan bakar. Itulah kira-kira opini dominan publik terhadap wacana kebijakan E 10, yang akan diterapkan pada 2027.
Nah, bagaimana sejatinya kesiapan dan tantangan untuk mewujudkan bahan bakar berbasis etanol tersebut? Dan bagaimana pula dampak terhadap mesin kendaraan, harga BBM dan keberlanjutan ke depannya? Ada beberapa catatan terkait hal tersebut.
Pertama, isu lingkungan hidup. Salah satu pemicu efek gas rumah kaca (pemanasan global), adalah tingginya penggunaan energi fosil, yang mayoritas digunakan untuk sektor transportasi (kendaraan bermotor) dan juga pembangkit listrik.
PBB dan seluruh negara di dunia tengah memerangi efek pemanasan global, dengan mereduksi (mengurangi) produksi dan konsumsi energi fosil tersebut, dengan skema kebijakan Net Zero Emission, hingga 2060.
Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah untuk mewujudkan kebijakan E-10, adalah kebijakan yang sejalan dengan kebijakan global. Sebab dengan memasukkan unsur bahan bakar nabati (etanol) ke dalam bahan bakar fosil, akan berkontribusi untuk mereduksi produksi emisi gas buang (gas karbon), yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor.
Ingat, sektor transportasi berkontribusi paling signifikan menghasilkan gas karbon, mengingat mayoritas warga masih menggunakan kendaraan pribadi untuk sarana mobilitasnya. Jumlah sepeda motor di Indonesia pun menjulang hingga 132 juta unit. Di DKI Jakarta sendiri jumlahnya mencapai lebih dari 23 juta unit sepeda motor.
Kedua, relevan dengan komitmen global tersebut, dalam ranah internasional, penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak bukan hal yang baru, bahkan sudah banyak yang menggunakan dalam jumlah/prosentase yang cukup banyak. Negara-negara di Eropa sudah lama menggunakan kebijakan etanol dalam bahan bakarnya, kisaran antara 20-30 persen.
Hal serupa juga dilakukan di Amerika, bahkan SPBU Shell di Amerika Serikat juga menyediakan/menjual BBM yang mengandung etanol. Jadi hal yang aneh jika Shell Indonesia menolak impor base fuel dari Pertamina hanya karena mengandung etanol sebesar 3,5 persen saja. Sangat kecil.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































