Jakarta (ANTARA) - Idul Adha tidak hanya dirayakan sebagai momen ibadah tahunan, melainkan juga sebagai perwujudan nilai-nilai sosial dan ekonomi dalam ajaran Islam.
Di balik penyembelihan hewan kurban yang dilakukan umat Muslim, terdapat filosofi mendalam tentang distribusi kekayaan, penguatan solidaritas sosial, serta pemberdayaan ekonomi rakyat.
Dalam pandangan Guru Besar Ekonomi Syariah Universitas Indonesia, Prof. Dr. M. Syafi’i Antonio, ibadah kurban harus dilihat sebagai bagian dari sistem distribusi kesejahteraan dalam ekonomi Islam. Kurban bukan hanya ibadah ritual, tapi juga menjadi mekanisme sosial untuk mengalirkan harta dari yang kaya kepada yang kurang mampu. Inilah salah satu bentuk implementasi nilai-nilai keadilan dan keseimbangan dalam Islam.
Kurban dapat diposisikan sebagai instrumen ekonomi sosial yang strategis dalam pembangunan masyarakat. Jika dikelola secara profesional, potensi ekonomi dari pelaksanaan kurban sangat besar. Pada 2024, estimasi nilai transaksi kurban di Indonesia mencapai lebih dari Rp14 triliun.
Berdasarkan syariat, umat Islam yang mampu diwajibkan berkurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun, lebih dari itu, Islam mengatur agar hasil sembelihan dibagikan kepada fakir miskin dan masyarakat umum. Ini menjadi bentuk nyata redistribusi kekayaan yang mendekatkan jarak sosial antara golongan kaya dan miskin
Dalam konteks Indonesia, yang masih menghadapi tantangan ketimpangan ekonomi dan gizi buruk, kurban hadir sebagai solusi sosial tahunan yang efektif. Selain itu penyaluran daging kurban menjadi bagian proses pemerataan sosial sumber protein bagi kelompok masyarakat rentan yang selama ini secara akses ekonomi sulit untuk mendapatkannya.
Peran terhadap perekonomian nasional
Permintaan hewan kurban yang meningkat menjelang Idul Adha menjadi berkah bagi peternak rakyat. Ribuan peternak di Jawa Tengah, NTB, Sumatera Barat, hingga Sulawesi Selatan memanfaatkan momentum ini untuk memasarkan hasil ternaknya. Tak hanya peternak, sektor pendukung seperti pakan ternak, logistik, jagal, hingga penjual perlengkapan turut terdampak secara ekonomi.
Menurut data Kementerian Pertanian RI, jumlah hewan kurban yang disembelih pada Idul Adha 2024 mencapai lebih dari 1,83 juta ekor, terdiri atas sapi, kerbau, kambing, dan domba. Estimasi nilai transaksi yang beredar di masyarakat mencapai Rp14,5 triliun, dengan kontribusi signifikan dari sektor peternakan rakyat.
Kurban juga menjadi stimulus ekonomi musiman yang mampu menciptakan lapangan kerja informal. Data BPS 2023 menunjukkan sektor pertanian, termasuk peternakan, menyumbang sekitar 28,6 persen terhadap total tenaga kerja nasional, dan sebagian besar merupakan usaha kecil keluarga yang tidak terhubung langsung ke rantai pasok industri besar. Momentum Idul Adha menjadi peluang bagi mereka untuk mengakses pasar dan pendapatan yang lebih baik.
Nilai spiritual kurban tidak dapat dilepaskan dari aspek sosialnya. Ibadah ini mengajarkan empati, kepedulian, dan pengorbanan kepada sesama. Pembagian daging kepada yang membutuhkan membangun rasa solidaritas sosial, mempererat hubungan antarkelompok masyarakat, serta mengurangi potensi kecemburuan sosial.
Transformasi teknologi juga memperkuat peran kurban sebagai instrumen filantropi Islam modern. Platform digital seperti Baznas, Dompet Dhuafa, Lazismu, dan Rumah Zakat menawarkan program kurban digital, yang memudahkan masyarakat dalam menunaikan ibadah sekaligus menjangkau daerah-daerah terpencil, kawasan bencana, atau wilayah rawan pangan.
Model kurban produktif juga mulai berkembang luas, yaitu hewan kurban dibeli dari peternak binaan, dan sebagian daging diolah menjadi rendang kaleng, abon, atau kornet untuk program bantuan jangka panjang. Program seperti ini berkontribusi dalam mendorong ketahanan pangan nasional.
Kurban dapat dimaknai sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat. Dalam beberapa model pelaksanaan kurban, seperti kurban kolektif yang dikelola oleh lembaga amil atau organisasi sosial, hasilnya dapat dikembangkan menjadi program berkelanjutan: pembangunan dapur umum, penguatan ketahanan pangan, atau bank daging untuk membantu korban bencana atau masyarakat di daerah rawan pangan.
Dengan perencanaan yang matang, ibadah kurban dapat bertransformasi menjadi bagian dari program sosial terpadu berbasis syariah, termasuk diintegrasikan dengan zakat, infaq, dan wakaf (ZIWAF) untuk membentuk ekosistem kesejahteraan Islam secara komprehensif.
Potensi kurban semestinya tidak berjalan sendiri, melainkan terintegrasi dengan program nasional pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan. Pemerintah melalui Kementerian Sosial, Bappenas, dan BAZNAS dapat memetakan wilayah-wilayah prioritas distribusi kurban berdasarkan peta kemiskinan, ketahanan pangan, dan angka stunting.
Berdasarkan data BPS Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih mencapai 25,22 juta jiwa (9,36% dari total penduduk). Sementara itu, prevalensi stunting pada balita berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2023 masih berada di angka 21,5%, dengan konsentrasi tinggi di NTT, Papua, dan Sulawesi Barat. Dimana wilayah ini adalah wilayah-wilayah yang sangat layak menjadi sasaran distribusi kurban nasional.
Dalam konteks pemberdayaan ekonomi, sinergi kurban melalui Program Kredit Usaha Rakyat (KUR} Peternakan yang disalurkan oleh pemerintah dan perbankan syariah juga bisa diperluas. Misalnya pada 2024 lalu, penyaluran KUR sektor peternakan mencapai lebih dari Rp13,2 triliun, namun dalam implementasinya belum banyak disinergikan dengan program sosial keagamaan seperti kurban. Peluang ini perlu dioptimalkan agar peternak kecil bisa tumbuh sekaligus memenuhi kebutuhan kurban nasional.
Program Dana Desa, yang mencapai Rp70 triliun per tahun, juga dapat dialokasikan sebagian untuk mendukung kelompok ternak binaan desa sebagai bagian dari ekonomi desa berbasis syariah. Dengan pengelolaan yang transparan dan partisipatif, kurban bisa menjadi instrumen empowerment bukan hanya charity.
Kurban adalah ibadah multidimensi. Ia memadukan spiritualitas, solidaritas, dan ekonomi dalam satu praktik nyata.
Dalam konteks ekonomi Islam, kurban menjadi instrumen penting dalam distribusi kekayaan, penguatan ekonomi lokal, dan pembangunan masyarakat yang berkeadilan. Melalui sinergi bersama melalui program nasional dan pendekatan manajemen yang modern serta berbasis data, kurban tidak hanya menjawab kebutuhan spiritual, tetapi juga memberi kontribusi nyata pada pembangunan manusia dan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.
*) Dr. M. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi
Copyright © ANTARA 2025