Jakarta (ANTARA) - Bumi yang berputar pada porosnya tidak pernah menunggu siapa pun. Begitu pula perubahan zaman yang datang tanpa memberi kesempatan bagi yang ragu.
Semua dipaksa untuk menyesuaikan diri atau tertinggal. Itulah yang sedang terjadi ketika dunia mengadopsi kecerdasan buatan dan coding sebagai bagian dari kurikulum sekolah.
Sayangnya, Indonesia masih sibuk berdebat. Pertanyaannya pun terus berulang terkait apakah AI perlu diperkenalkan sejak dini atau cukup menunggu perguruan tinggi. Di permukaan, perdebatan ini terdengar logis.
Namun jika terlalu lama dipelihara, akibatnya bisa sangat serius. Anak-anak di negeri ini bisa kehilangan momentum emas untuk menjadi pencipta teknologi. Mereka hanya akan puas sebagai konsumen digital.
Di luar sana, peta sudah berubah jauh. Tiongkok sejak 2018 memasukkan mata pelajaran AI dalam kurikulum sekolah dasar hingga menengah, lengkap dengan buku teks resmi hasil kolaborasi dengan SenseTime.
India memilih jalan opsional sejak kelas enam. Inggris bahkan lebih berani, mewajibkan coding sejak anak berusia lima tahun.
Finlandia dan Estonia pun sudah menjadikan coding sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan dasar.
Amerika Serikat melangkah lewat berbagai negara bagian. Ada yang mewajibkan coding di sekolah, ada pula yang masih berdebat, tetapi arah integrasi AI makin jelas.
Timur Tengah pun melesat, terutama UEA dan Arab Saudi, yang langsung memasukkan strategi nasional AI ke dalam kurikulum pendidikan.
Singapura, sebagaimana biasanya, tidak mau ketinggalan. Program AI for Everyone dan AI for Students diluncurkan sejak 2019 untuk memastikan anak-anak terbiasa dengan teknologi ini sejak dini.
Lalu bagaimana dengan Indonesia yang masih sibuk pada keraguan lama. Negeri ini masih mengulang alasan klasik bahwa anak-anak sebaiknya menguasai pelajaran dasar terlebih dahulu. Padahal, kenyataan di lapangan justru berkata lain.
Beberapa waktu lalu, penulis berbincang dengan seorang guru SMP di Depok. Ia bercerita bagaimana murid-muridnya sudah menggunakan ChatGPT untuk mengerjakan tugas, membuat cerita, bahkan merancang poster sederhana. Tanpa menunggu restu kurikulum, AI sudah masuk ke kelas lewat gawai anak-anak.
Mereka menggunakan Midjourney untuk membuat ilustrasi, Gemini untuk mencari informasi. Ada yang kreatif, tapi ada juga yang hanya menyalin tanpa mengerti.
Tanpa bimbingan guru, proses belajar ini ibarat kendaraan balap tanpa rem, bisa mengantar ke garis finis kreativitas, tapi juga bisa tergelincir ke jurang informasi berbahaya.
Literasi abad 21
Kesalahpahaman lain yang masih sering terdengar adalah anggapan bahwa AI hanya sekadar aplikasi pintar yang siap pakai. Pandangan ini menyesatkan.
AI adalah ilmu dasar yang mencakup machine learning, deep learning, natural language processing, computer vision, hingga large language models.
Jika generasi muda di Indonesia hanya berhenti pada posisi pengguna pasif, masa depan bangsa ini akan bergantung penuh pada produk asing.
Sebaliknya, memahami AI sejak dini akan membekali mereka dengan kemampuan membangun algoritma, menciptakan model, dan merumuskan solusi nyata bagi kehidupan.
Itulah sebabnya AI dan coding harus dipandang sebagai literasi abad ke-21. Jika dulu membaca, menulis, dan berhitung menjadi fondasi, maka kini literasi digital, data, AI, dan coding tidak kalah pentingnya.
Tujuannya bukan mencetak semua anak menjadi programmer, melainkan menanamkan pola pikir komputasional, logika analitis, kemampuan memecahkan masalah, dan keberanian untuk berinovasi.
Keberatan yang paling sering muncul tentu soal kesiapan guru. Banyak yang beranggapan AI dan coding cukup diajarkan di fakultas teknik. Namun pengalaman global menunjukkan hal sebaliknya. Inovasi besar AI justru lahir dari berbagai bidang non-teknis.
Dokter yang paham AI mampu mendiagnosis pasien lebih cepat. Ekonom bisa membaca pola pasar dengan lebih tajam. Jurnalis menggunakan AI untuk melakukan fact-checking berbasis data.
Seniman bahkan menciptakan karya-karya baru yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Mengurung AI hanya di ruang teknik sama artinya dengan menutup pintu peluang besar di berbagai profesi.
Mengapa harus dimulai sejak SD dan SMP? Pertama, karena usia itu adalah golden age of learning. Anak-anak punya kemampuan adaptasi luar biasa, termasuk terhadap bahasa teknologi.
Kedua, pada usia dini kreativitas tumbuh lebih cepat, dan AI melatih mereka untuk berani mencoba, gagal, lalu mencoba lagi. Ketiga, ini menyangkut persiapan menuju Indonesia Emas 2045.
Anak-anak SD hari ini akan berusia tiga puluhan ketika negeri ini genap 100 tahun. Jika sejak dini mereka sudah melek AI, mereka bisa menjadi pencipta teknologi yang diakui dunia.
Memasukkan AI dan coding ke dalam kurikulum bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Dunia kerja, industri, bisnis, pemerintahan, bahkan seni, kini semua digerakkan oleh AI.
Menunda berarti menjadikan Indonesia sekadar pasar empuk bagi teknologi asing. Tetapi melangkah sekarang berarti menyiapkan jutaan inovator dan pemimpin global di masa depan.
Pada akhirnya, integrasi AI ke dalam pendidikan dasar bukan hanya soal teknologi. Ini soal kedaulatan bangsa.
Kebijakan publik harus beriringan dengan kesiapan sumber daya manusia. Indonesia punya pilihan sederhana antara tetap jadi penonton atau melompat menjadi pemain utama.
Jangan sampai anak-anak di negeri ini hanya tumbuh sebagai budak digital, fasih berselancar di media sosial tapi tak pernah berkesempatan menciptakan teknologi yang mereka gunakan. Saatnya mereka dipersiapkan sebagai penguasa teknologi.
Jika langkah berani ini Indonesia ambil sekarang, generasi emas 2045 akan benar-benar berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju, bukan lagi sebagai konsumen, tetapi sebagai kreator yang diakui dunia.
*) Penulis adalah CEO AI SmartX Academy, Ketua Komtap AI APTIKNAS, dan World Top 200 CIO Indonesia 2025. Alumni Digital Leadership Academy Kominfo–NUS ini aktif memperjuangkan literasi dan industrialisasi AI untuk masa depan Indonesia yang cerdas dan mandiri.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.