Beijing (ANTARA) - Washington sekali lagi kembali menggunakan pendekatan koersif dengan mengeluarkan ultimatum, mengeskalasi ketegangan perdagangan pada Senin (7/4) dengan menuntut agar China membatalkan tindakan balasan yang sah atau menghadapi putaran baru kenaikan tarif.
Momen ancaman terbaru ini, hanya beberapa hari menjelang berlakunya gelombang baru tarif "resiprokal" terhadap puluhan mitra dagangnya pada Rabu (9/4), terkesan menunjukkan keputusasaan.
Jika Washington meyakini bahwa dengan meningkatkan tekanan dapat memaksa Beijing menyerah, maka itu hanyalah angan-angan belaka. China bersikap tegas dalam pendiriannya, menolak tunduk pada ultimatum Washington, berjanji untuk merespons dengan baik, dan berjuang sampai akhir.
Saat pemerintahan AS di bawah Donald Trump berusaha keras untuk merombak perdagangan bebas global menjadi permainan menang-kalah (zero-sum), ada baiknya kita mengingat kembali kebenaran yang konsisten, yakni perang dagang tidak menghasilkan pemenang. AS masih jauh dari kebal terhadap luka ekonomi akibat perang dagang yang telah disulutnya. Pasar AS sudah merasakan tekanan, bisnis menghadapi ketidakpastian yang semakin besar, dan risiko resesi semakin meningkat.
Selama masa jabatan pertama Trump, perang dagangnya menimbulkan kerusakan yang signifikan pada ekonomi AS. Kebijakan itu menyebabkan harga konsumen naik, memberikan tekanan keuangan pada petani AS, dan memicu perlambatan di sektor manufaktur karena perusahaan-perusahaan kesulitan menghadapi meningkatnya biaya bahan impor.
"Perang dagang hingga saat ini belum memberikan manfaat ekonomi bagi jantung ekonomi AS, tarif impor barang asing tidak meningkatkan atau menurunkan lapangan kerja AS di sektor-sektor yang baru saja diberi perlindungan; tarif balasan memiliki dampak negatif terhadap lapangan kerja, terutama di sektor pertanian," demikian hasil penelitian terbaru dari Biro Riset Ekonomi Nasional AS.
Dengan skala perang dagang terbaru Washington yang lebih luas, konsekuensinya kemungkinan akan jauh lebih buruk. Tarif tidak akan melindungi industri AS. Sebaliknya, tarif akan meningkatkan biaya bagi produsen, mengganggu rantai pasokan global, dan membebani konsumen yang sudah bergulat dengan inflasi.
Keputusan Washington untuk menaikkan tarif terhadap China dan mitra dagang lainnya merupakan kesalahan besar yang perlu diperbaiki.
Dalam ekonomi global yang saling terhubung, menggunakan proteksionisme bukanlah tanda kekuatan, tetapi kepicikan dan arogansi. Jika Washington benar-benar berkomitmen untuk membangun masa depan yang lebih baik, mereka harus beralih dari ilusi kontrol sepihak dan kembali ke prinsip-prinsip saling menghormati, kesetaraan, dan kerja sama. Jika tidak, hal ini justru akan mempercepat kemerosotan ekonomi AS.