Tianjin, China (ANTARA) - Sekembalinya ke tanah air sejak memulai studi pascasarjana dua-tahun di Universitas Tianjin, China, pada September 2024, sekelompok guru Indonesia menciptakan sebuah lagu berbahasa Mandarin.
Dengan menggunakan bantuan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), lirik lagu tersebut berisi rasa syukur dan keengganan untuk berpisah.
Para guru itu merupakan angkatan pertama dari Program Magister Pendidikan Bahasa Mandarin Internasional untuk Guru Sekolah Trilingual Indonesia.
Sebagai bagian dari tugas kuliah untuk mengeksplorasi peran AI dalam pendidikan, proyek tersebut mencerminkan pendekatan inovatif program itu terhadap pengajaran.
"Ini merupakan cara bagi kami untuk mengekspresikan tujuan dan impian bersama," ujar Suviana, salah satu pencipta lagu itu sekaligus seorang guru bahasa Mandarin-bahasa Indonesia.
Pada 2024, kelompok pertama yang terdiri dari 39 guru Indonesia memulai perjalanan akademis mereka yang akan berjalan selama dua tahun di Tianjin. "Kami bukan hanya guru, tetapi juga duta budaya," kata Saifus Somad, salah satu guru asal Indonesia.
Bagi Suviana, bahasa Mandarin selalu menjadi lebih dari sekadar mata pelajaran, tetapi juga kunci untuk memahami warisan leluhurnya.
"Mempelajari sebuah bahasa merupakan langkah awal untuk memahami suatu budaya," ujarnya.
Setelah bertahun-tahun mengajar bahasa Mandarin di Jakarta, Suviana telah menyaksikan bagaimana bahasa tersebut dapat membuka pintu bagi siswa dari berbagai latar belakang.
Melalui kemajuan mendalam dari Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra, Suviana mengamati bahwa semakin banyak keluarga Indonesia mulai melihat pentingnya belajar bahasa Mandarin.
"Bukan hanya dari keluarga keturunan China di Indonesia. Para orang tua dari komunitas lain juga mempelajari bahasa Mandarin bersama anak-anak mereka. Mereka menganggapnya sebagai keterampilan yang dapat mengubah masa depan mereka," tutur Suviana
![](https://img.antaranews.com/cache/800x533/2025/01/18/CjkinzN007081_20250117_CBMFN0A002.jpg)
Saifus Somad, salah satu dari beberapa peserta program yang bukan keturunan China, mengatakan bahwa "belajar bahasa Mandarin di sekolah menengah atas telah memberi saya pemahaman yang lebih dalam tentang budaya China-Indonesia dan meruntuhkan batasan-batasan yang ada."
Sebagai guru bahasa Mandarin di Provinsi Jawa Timur, Saifus Somad yakin bahwa bahasa tersebut merupakan jembatan untuk membangun pemahaman dan keharmonisan.
"Mempelajari bahasa Mandarin memberikan lebih banyak kesempatan bagi generasi muda Indonesia dan membantu mereka terhubung dengan budaya China," ujarnya.
Selama berada di Tianjin, para peserta program merasakan langsung kekayaan budaya China.
Mereka menciptakan lagu dengan alat bantu AI, mempelajari puisi klasik, berlatih kaligrafi, dan bahkan menampilkan karya versi Indonesia yang terinspirasi sastra klasik China "A Dream of Red Mansions" di sebuah acara universitas.
"Pengalaman-pengalaman ini telah memperdalam pemahaman saya tentang budaya China," ujar Suviana.
"Saat kami mempelajari puisi klasik, kami tersentuh oleh kalimat, 'Sepucuk surat dari rumah bernilai seribu keping emas'. Banyak dari kami yang meneteskan air mata karena kami sendiri dapat merasakan kerinduan seperti itu yang begitu kuat," tuturnya.
Saifus Somad dan rekan-rekan sekelasnya berencana merekam lagu yang diciptakan dengan bantuan AI itu dan nantinya menghadirkannya ke kelas-kelas bahasa Mandarin di Indonesia, sehingga makin banyak siswa dapat merasakan kegembiraan mempelajari bahasa itu dan pesona budayanya.
Program magister tersebut merupakan bagian misi yang lebih luas dari Universitas Tianjin untuk mendorong pendidikan internasional dan pertukaran budaya.
Melalui pengembangan kolaborasi dengan negara-negara ASEAN dan penciptaan platform untuk pembelajaran timbal balik, Universitas Tianjin membantu membangun hubungan yang lebih kuat antara China dan negara-negara tetangganya.
Bagi Suviana dan rekan-rekan sekelasnya, program magister tersebut telah mengubah hidup mereka.
"Pengalaman ini memperkuat tujuan hidup saya. Saya berharap makin banyak guru Indonesia dapat mengikuti jejak kami, datang ke China, menimba ilmu di Universitas Tianjin, dan menjadi jembatan penghubung antara kedua negara," kata Suviana.
Pewarta: Xinhua
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2025