Kemenkum: Protokol Jakarta ciptakan ekosistem KI yang adil-transparan

3 weeks ago 14

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Hukum (Kemenkum) berharap sistem Protokol Jakarta akan menciptakan ekosistem kekayaan intelektual nasional dan global yang lebih adil serta transparan.

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkum Razilu menjelaskan inisiatif Protokol Jakarta, sebagai instrumen hukum terkait pengelolaan royalti di platform digital secara internasional, lahir dari adanya ketimpangan pengelolaan pasar musik digital antara negara maju dan negara berkembang. Akibatnya, pengumpulan dan distribusi royalti di negara berkembang menemui hambatan.

“Protokol Jakarta adalah keinginan Menteri Hukum berupa pengelolaan royalti terkait dengan platform digital khusus secara global,” kata Razilu dalam Diskusi Kelompok Terarah Protokol Jakarta di Depok, Jawa Barat, Kamis, seperti dikutip dari keterangan tertulis yang dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

Razilu mengatakan wacana tersebut terinspirasi dari tiga sistem permohonan kekayaan intelektual internasional, yakni permohonan merek internasional yang disebut Madrid Protocol, PCT (Patent Cooperation Treaty) berupa permohonan paten internasional, dan Hague Agreement berupa permohonan kekayaan intelektual internasional terkait desain industri.

Mekanismenya, lanjut dia, Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (World Intellectual Property Organization/WIPO) sebagai badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang melindungi kekayaan intelektual secara global, akan membuat platform digital global, yang akan mengumpulkan seluruh royalti di berbagai platform digital global.

Setelah itu, ia menyebutkan royalti akan didistribusikan ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atau Collective Management Organization (CMO) masing-masing negara di seluruh dunia dan akan berakhir pada penciptanya.

"Apa pun nanti namanya, baik Protokol Jakarta atau bukan, tidak menjadi penting karena ini adalah sebuah terobosan strategis. Inisiasi dari Indonesia nantinya, bukan inisiasi dari Menteri Hukum saja,” ucap dia.

Sementara itu, Kepala Badan Strategi Kebijakan (BSK) Hukum Kemenkum Andry Indrady mengatakan negara Global North (negara-negara maju yang memiliki kekayaan besar, tingkat demokrasi tinggi, dan stabilitas politik) kini menguasai ekosistem lisensi daring melalui platform besar, algoritma distribusi, dan model bisnis langganan.

Sementara itu, kata dia, negara Global South (negara berkembang dan terbelakang di seluruh dunia, utamanya di Afrika, Asia, dan Amerika Latin) masih dihadapkan pada problematika mendasar, seperti infrastruktur hukum yang belum matang, lemahnya tata kelola LMK hingga praktik penggunaan musik tanpa kompensasi.

“Indonesia menghadapi persoalan serupa dengan berbagai isu seputar transparansi dalam tata kelola LMK serta penghimpunan dan pendistribusian royalti,” ungkap Andry dalam kesempatan yang sama.

Dirinya menuturkan masalah tersebut menggambarkan tantangan struktural yang dialami negara berkembang, di mana ketidaksetaraan modal, kapasitas teknologi, dan daya tawar menghambat distribusi manfaat ekonomi secara berimbang.

Adapun Kemenkum menghadirkan beragam pemangku kepentingan dalam diskusi tersebut, yaitu Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Kreatif, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ekonomi Kreatif, Kementerian Komunikasi dan Digital, Kementerian Kebudayaan, Kementerian Koperasi, Kementerian Sekretariat Negara, Komisi Publishing Right, Dewan Pers, LMKN, dan sejumlah musisi serta pencipta lagu.

Baca juga: Kemenkum RI terapkan prinsip pemerintahan terbuka dalam layanan

Baca juga: DJKI imbau pengajuan perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Baca juga: Kemenkum komitmen digitalisasi total layanan publik

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |