Gaza (ANTARA) - Di tengah kehancuran yang luas dan kehilangan orang-orang tercinta, warga Palestina di Jalur Gaza tahun ini terpaksa menyambut bulan suci Ramadhan dengan luka emosional dan kondisi fisik yang kelelahan, setelah 15 bulan rentetan serangan Israel di daerah kantong yang terkepung itu.
Sementara umat Islam di seluruh dunia menyambut Ramadhan dengan doa dan perayaan, pemandangan di Gaza justru mencerminkan kisah sebaliknya.
Ruas-ruas jalan di Gaza yang dahulu ramai dan dipenuhi semarak kehidupan, kini tinggal reruntuhan. Puing-puing rumah yang hancur menjadi memoar suram yang mengingatkan akan kehancuran akibat konflik, sementara udara dipenuhi bau mesiu, kematian, dan pembusukan.
Dengan berakhirnya fase pertama gencatan senjata antara Palestina dan Israel pada Sabtu (1/3), dan belum adanya sinyal dimulainya fase kedua gencatan senjata, warga Gaza kini hidup dalam kecemasan tinggi, dan ketakutan akan kemungkinan konflik yang bisa kembali pecah kapan saja.
"Hari-hari yang berlalu tanpa serangan telah memberikan sedikit kelegaan. Namun di saat yang sama, kami hidup dalam ketakukan akan terjadinya kembali serangan," kata Om Mohammed al-Najjar dari Khan Younis, Gaza selatan.
Dirinya kehilangan tempat tinggal dalam pengeboman baru-baru ini.
"Kita sudah cukup menderita. Ramadhan seharusnya menjadi masa yang penuh kedamaian, tetapi di sini, tidak ada kedamaian," ujarnya.
Mohammed Al-Dahdouh (45), seorang ayah empat anak dari Gaza City, mengenang kembali momen-momen indah saat keluarganya menghiasi rumah mereka dengan lentera dan hiasan berwarna cerah. Dapur dipenuhi aroma lezat maqluba dan qatayef, hidangan tradisional Timur Tengah, dan gelak tawa menggema di seluruh ruangan.
"Dahulu, Ramadhan selalu menjadi momen berkumpulnya anggota keluarga di sekitar meja makan, dengan gelak tawa anak-anak, dan aroma makanan yang memenuhi ruangan," kata Al-Dahdouh kepada Xinhua.
"Kini, tidak ada rumah, bahkan tidak ada meja makan. Kami terpaksa berdesakan di dalam tenda kecil, dan makanan yang kami miliki hampir tidak mencukupi," tambahnya.
"Kami bertahan hidup karena tidak punya pilihan lain. Kami orang-orang yang mencintai kehidupan, dan kami berhak hidup dengan damai dan aman," ungkapnya.
Tasaheel Nassar, seorang wanita Palestina dari Kota Rafah yang kehilangan suami, saudara laki-laki, dan orang tuanya dalam sebuah serangan udara Israel, mengungkapkan kepada Xinhua bahwa "Semangat bulan suci Ramadhan seolah sudah memudar di Gaza. Tidak ada lagi dekorasi lentera, hiasan khas Ramadan, dan keriuhan pasar yang semarak. Sebaliknya, yang ada hanyalah keheningan yang ditinggalkan oleh bayang-bayang kematian dan kehancuran yang terus menghantui."
Meski demikian, sebagian warga Gaza tetap memilih untuk tidak menyerah. Arkan Radi, pria berusia 35 tahun dari Deir al-Balah, Gaza tengah, bersama teman-temannya, menggantung dekorasi khas Ramadan di tenda mereka.
"Kami tahu dekorasi ini tidak akan mengubah realitas kami," kata Radi.
"Namun, ini adalah bentuk pesan bahwa kami masih di sini, masih bertahan hidup, bahkan di masa-masa tergelap sekalipun. Ini memang bukan solusi, tetapi saya ingin memberikan pesan harapan dan kegembiraan bagi anak-anak saya," pungkasnya.
Pewarta: Xinhua
Editor: Martha Herlinawati Simanjuntak
Copyright © ANTARA 2025