Juni 2025 jadi bulan Juni terpanas ketiga dalam sejarah dunia

2 months ago 21

Brussel (ANTARA) - Juni 2025 merupakan bulan Juni terpanas ketiga dalam sejarah dunia, hanya kalah dari bulan Juni 2023 dan 2024, ungkap Layanan Perubahan Iklim Copernicus (Copernicus Climate Change Service/C3S) yang didanai oleh Uni Eropa (UE) pada Rabu (9/7).

Rata-rata suhu udara permukaan global untuk Juni 2025 tercatat di angka 16,46 derajat Celsius, 0,47 derajat lebih tinggi dibanding rata-rata pada 1991-2020 untuk bulan yang sama dan 1,3 derajat lebih tinggi dibanding level praindustri pada 1850-1900, urai C3S dalam buletin bulanannya.

Rata-rata suhu di Eropa pada bulan itu mencapai 18,46 derajat Celsius, menjadikannya bulan Juni terpanas kelima dalam sejarah. Namun, Eropa Barat mengalami bulan Juni terpanasnya dalam sejarah, dengan rata-rata suhu mencapai 20,49 derajat Celsius.

"Juni 2025 mengalami gelombang panas luar biasa yang berdampak terhadap sejumlah besar daerah di Eropa Barat, dengan banyak area di kawasan tersebut merasakan tekanan panas yang sangat kuat," ujar Samantha Burgess, pemimpin strategis untuk bidang iklim di Pusat Prakiraan Cuaca Jangka Menengah Eropa (European Centre for Medium-Range Weather Forecasts).

Dia memperingatkan bahwa gelombang panas berpotensi menjadi "lebih sering terjadi, lebih intens, dan berdampak terhadap lebih banyak orang di seluruh Eropa" di tengah dunia yang semakin menghangat.

Di luar Eropa, suhu di atas rata-rata untuk Juni 2025 juga tercatat di seluruh Amerika Serikat, Kanada utara, bagian tengah dan timur Asia, serta Antarktika Barat. Rata-rata suhu permukaan laut (sea surface temperature/SST) global untuk Juni 2025 pada garis lintang dari 60 derajat utara hingga 60 derajat selatan mencapai 20,72 derajat Celsius, angka tertinggi ketiga untuk bulan tersebut.

Gelombang panas laut yang "luar biasa" berkembang di Mediterania barat, di mana SST harian memuncak di angka 27 derajat, suhu tertinggi yang pernah tercatat di kawasan tersebut untuk bulan Juni, menandai anomali SST harian terbesar di dunia untuk bulan apa pun, urai C3S.

"Tren jangka panjang terkait meningkatnya suhu samudra terlihat jelas secara global," ujar Julien Nicolas, ilmuwan senior di C3S. Dia menyatakan bahwa SST yang lebih tinggi menimbulkan peningkatan ancaman terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati laut mengingat samudra menyerap sekitar 90 persen panas berlebih yang ditimbulkan oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Nicolas menyerukan aksi yang lebih cepat untuk memangkas emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan iklim. Memangkas emisi serta membuat kota dan masyarakat kita beradaptasi dengan dunia yang cuacanya lebih ekstrem sangatlah penting," tuturnya.

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |