Jakarta (ANTARA) - Pada Kamis (1/5), nama Marsinah kembali menggema di antara kibaran bendera dan lautan manusia berseragam serikat pekerja yang memadati jantung ibu kota. Lapangan Monas menjelma menjadi panggung peringatan bahwa perjuangan kaum buruh tidak pernah benar-benar usai.
Nama aktivis buruh yang meninggal tragis pada 1993 kembali mencuat di peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025, ketika Presiden Prabowo Subianto mengungkap hak istimewanya memberi gelar Pahlawan Nasional bagi sosok Marsinah.
"Asal seluruh pimpinan buruh mewakili kaum buruh, saya akan mendukung Marsinah menjadi Pahlawan Nasional," kata Presiden, disambut gemuruh tepuk tangan buruh.
Dukungan itu disampaikan sebagai respons atas aspirasi yang telah lama disuarakan para pimpinan serikat buruh. Salah satunya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, yang menilai belum ada satu pun tokoh otentik dari garis kaum mereka yang diakui secara resmi sebagai pahlawan bangsa.
Nama Marsinah dianggap lebih mewakili pergerakan kaum buruh di Indonesia, meski dalam catatan sejarah, nama Jacob Nuwa Wea dan Muchtar Pakpahan selalu menempati posisi penting sebagai tokoh yang berpengaruh.
Jacob Nuwa Wea dikenal sebagai Menteri Tenaga Kerja yang berangkat dari latar belakang manajer di sebuah pabrik di Pasar Rebo, Jakarta. Ia terkenal setelah berhasil meloloskan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebuah regulasi yang hingga kini menjadi rujukan utama perlindungan tenaga kerja di Indonesia.
Meskipun demikian, kiprahnya kerap dianggap lebih kuat dalam ranah politik dibanding gerakan buruh itu sendiri.
Sementara itu, Muchtar Pakpahan dikenal luas sebagai tokoh elit yang berani melawan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Pendiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) ini kerap disebut sebagai simbol perlawanan kelas pekerja terhadap otoritarianisme, menjadikannya salah satu figur penting dalam sejarah buruh Indonesia, meski kiprahnya juga tidak lepas dari citra sebagai kalangan elit gerakan.
Walaupun berperan besar dan memiliki rekam jejak profesi buruh, bagi KSPI, kedua figur itu lebih sebagai elit politik atau birokrat ketimbang berasal langsung dari trah buruh di akar rumput.
Bagi peraih The Febe Elizabeth Velasquez award dari Presiden FNV Mondiaal Belanda, Ton Heerts pada 2013 itu, Marsinah tidak berbicara elit, tapi tentang simbol perlawanan dari orang kecil. Simbol perlawanan dari orang kecil, bagi kelompok buruh lebih bisa diterima ketimbang ketokohan yang elit.
Pernyataan Presiden Prabowo di Monas menjadi titik balik atas perjuangan kaum buruh Indonesia yang telah lama menuntut pengakuan negara atas jasa para pejuang ketenagakerjaan.
Presiden Prabowo, lantas meminta agar pimpinan buruh bermufakat untuk menyepakati nama yang akan diusulkan ke pemerintah, seraya memastikan restunya jika ada kesepakatan kolektif.
Wacana ini membuka kembali diskusi tentang pengakuan terhadap buruh dalam sejarah bangsa. Lantas, apakah Marsinah benar-benar representasi paling otentik dari perjuangan kaum buruh Indonesia?
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2025