Jakarta (ANTARA) - Institut Teknologi PLN (ITPLN) resmi membentuk lembaga riset Global Institute for Nuclear Energy and Sustainable Development (GINEST) untuk mendukung percepatan transisi energi bersih dan pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia.
Rektor ITPL Iwa Garniwa mengatakan GINEST akan menjadi pusat keilmuan sekaligus jejaring kolaborasi global dalam penguasaan teknologi nuklir.
"GINEST juga upaya memperkuat posisi Indonesia di kancah energi bersih dunia," ujar Iwa dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Pemerintah sebelumnya telah menetapkan pengembangan PLTN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Ini adalah pertama kalinya energi nuklir masuk dalam peta jalan nasional, dengan target penambahan kapasitas 500 megawatt (MW) dalam periode tersebut.
Untuk jangka panjang, kapasitas ini ditargetkan meningkat signifikan hingga 4.000-4.300 MW. Peningkatan ini akan mencakup penggunaan teknologi canggih seperti reaktor modular kecil (SMR) dan reaktor apung.
Iwa menuturkan GINEST akan fokus pada tujuh program utama di antaranya memberikan masukan kebijakan teknologi nuklir kepada pemerintah, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM), serta memperkuat kerja sama global di sektor energi nuklir.
Selain itu, GINEST juga akan mengembangkan riset bahan bakar nuklir, pengelolaan limbah radioaktif, dan membangun aliansi keilmuan antar perguruan tinggi.
Lembaga ini diharapkan menjadi motor integrasi ekosistem riset energi nuklir nasional.
Direktur Manajemen Proyek dan Energi Terbarukan PLN Suroso Isnandar menyebutkan Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan pentingnya pemanfaatan teknologi nuklir, tak hanya untuk sektor pertahanan, tetapi juga energi, kesehatan, dan pertanian.
Menurut Suroso, pengembangan PLTN memerlukan komitmen nasional yang kuat karena siklus proyeknya panjang, bisa mencapai 100 tahun, sejak perencanaan, konstruksi, hingga operasi.
"Kalau target operasional 2034, pra kontrak harus mulai tahun depan," ucapnya.
Suroso mengatakan saat ini teknologi PLTN skala besar di dunia banyak menggunakan sistem pressurized water reactor (PWR).
Bahan bakar berupa pelet uranium seukuran 1 sentimeter mampu menghasilkan energi setara 1 ton batu bara. Pengisian ulang bahan bakarnya hanya perlu dilakukan setiap 1,5 hingga 2 tahun.
Dari sisi emisi, PLTN disebut memiliki jejak karbon jauh lebih rendah dibanding pembangkit fosil.
Suroso menyebutkan, emisi PLTN hanya sekitar 0-12 gram CO2 per kilowatt-hour (kWh), jauh di bawah PLTU supercritical yang mencapai 870 gram CO2 per kWh.
Ketua GINEST ITPLN Agus Puji Prasetyono menilai pengembangan PLTN menjadi solusi strategis dalam transisi energi. Selain tanpa memerlukan subsidi, PLTN penting untuk mewujudkan kedaulatan energi nasional dan mendukung target net zero emission pada 2060.
Agus menyatakan Indonesia menargetkan pembangunan sekitar 200 unit PLTN hingga 2050. Untuk itu, kapasitas SDM di bidang nuklir harus diperkuat.
"Berarti, kita harus betul-betul siapkan sumber daya manusia juga teknologinya. Kan kita tidak mungkin akan tergantung semuanya PLTN itu dari luar. Selain itu, teknologi inovasi dan juga SDM terampil tersertifikasi itu juga nanti akan kita bangun mulai dari ITPLN," tegasnya.
GINEST, lanjut Agus, akan fokus pada pelatihan SDM, pengembangan teknologi inovasi, dan penyusunan rekomendasi kebijakan energi nasional. Ia meyakini, energi nuklir dapat menjadi pilar utama transisi energi bersih yang mandiri dan berkelanjutan di Indonesia.
Baca juga: ITPLN buka Program Studi Sains Data jawab kebutuhan era digital
Baca juga: Institut Teknologi PLN gandeng praktisi dorong pertumbuhan green jobs
Baca juga: ITPLN raih penghargaan internasional lewat teknologi energi terbarukan
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































