Hukuman mantan Kapus Krisis Kemenkes diperberat jadi 4 tahun penjara

1 month ago 14

Jakarta (ANTARA) - Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman mantan Kepala Pusat (Kapus) Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana menjadi 4 tahun penjara dari 3 tahun penjara terkait kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 Kemenkes pada tahun 2020.

Hakim Ketua Tahsin menyatakan Majelis Hakim berpendapat sebenarnya Budi sejak awal pada audit tujuan tertentu Tahap I dan Tahap II sudah mengetahui adanya temuan, tetapi Budi tidak melakukan penghentian kontrak sehingga menimbulkan kerugian negara yang lebih besar.

"Dengan demikian untuk penjatuhan hukuman pidana pokok penjara, Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Banding tidak sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama," ujar Hakim Ketua dalam salinan putusan yang dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.

Selain hukuman penjara, Hakim Ketua menegaskan pihaknya juga tidak sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama terkait pidana pokok denda yang dijatuhkan kepada Budi karena dianggap masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan kerugian negara yang timbul, yakni senilai Rp319,69 miliar.

Dengan begitu, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta turut memperberat pidana denda yang diberikan kepada Budi, yaitu menjadi sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka akan diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 4 bulan.

Adapun sebelumnya, Budi dikenakan pidana denda sebesar Rp100 juta subsider pidana kurungan selama 2 bulan.

Sementara untuk penjatuhan hukuman tambahan berupa uang pengganti, Hakim Ketua menyebutkan Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Banding sependapat dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama bahwa terhadap Budi tidak perlu dibebankan untuk membayar uang pengganti.

"Hal ini karena di depan persidangan tidak ditemukan fakta hukum bahwa Budi ikut menikmati hasil tindak pidana korupsi," tutur Hakim Ketua.

Atas perbuatan Budi, Hakim Ketua menyatakan Budi melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam kasus korupsi pengadaan APD COVID-19 itu, Budi diduga melakukan korupsi bersama-sama Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo, sehingga merugikan negara sekitar Rp319,69 miliar.

Kerugian negara terjadi akibat perbuatan para terdakwa yang memperkaya Satrio sebesar Rp59,98 miliar, Ahmad Rp224,19 miliar, PT Yoon Shin Jaya Rp25,25 miliar, serta PT GA Indonesia Rp14,62 miliar.

Budi, Ahmad, dan Satrio didakwa turut serta melakukan negosiasi harga APD sejumlah 170 ribu pasang seluruhnya tanpa menggunakan surat pesanan, melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak lima juta pasang, serta menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp10 miliar untuk membayarkan 170 ribu pasang APD tanpa ada surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran.

Kemudian, ketiga terdakwa juga disangkakan ikut serta menerima pembayaran terhadap 1,01 juta pasang APD merek BOHO senilai Rp711,28 miliar untuk PT PPM dan PT EKI, padahal PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang/jasa sejenis di instansi pemerintah serta tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK).

Selain itu, PT EKI dan PT PPM juga diduga tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK sehingga melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat, yaitu efektif, transparan, dan akuntabel.

Baca juga: Tiga terdakwa korupsi APD COVID-19 divonis 3 sampai 11,5 tahun penjara

Baca juga: Kasus korupsi APD, mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes dituntut 4 tahun penjara

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |