Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira menilai larangan impor dan "thrifting" haus disertai penguatan kemandirian industri nasional dan keberlanjutan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
“Kebijakan seperti larangan impor dan 'thrifting' seharusnya tidak sekadar melindungi kelompok industri besar, tetapi diarahkan pada penguatan kemandirian industri nasional dan keberlanjutan UMKM,” ujar Anggawira dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Ia menegaskan bahwa Hipmi mendukung langkah pemerintah menertibkan impor ilegal. Selama ini, lanjut dia, banyak barang yang masuk tanpa pajak dan tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI), yang pada akhirnya merugikan pelaku usaha kecil dan industri dalam negeri.
Untuk mencegah pengaruh kelompok tertentu dalam kebijakan fiskal dan perdagangan, Hipmi mengusulkan tiga langkah konkret. Pertama, transparansi data rantai pasok dari hulu hingga hilir.
Pemerintah dinilai perlu memiliki sistem keterlacakan data industri tekstil yang terbuka, mulai dari bahan baku serat, benang, kain, hingga garmen.
“Dengan data yang transparan, ruang untuk lobi tidak sehat bisa ditekan,” kata Anggawira.
Kedua, Hipmi meminta konsultasi kebijakan dilakukan secara terbuka dan inklusif. Formulasi kebijakan perdagangan, misalnya, tidak boleh hanya melibatkan asosiasi besar atau pemain hilir saja, tapi juga industri hulu, intermediate, UMKM, konveksi rakyat, hingga pelaku garmen kecil.
“Hipmi siap menjadi jembatan antara seluruh pelaku usaha agar suara UMKM tidak tenggelam,” ujarnya.
Ketiga, penguatan penegakan hukum terhadap impor ilegal dan penyelundupan. Menurut Anggawira, masalah ini bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi menyangkut keadilan hukum.
“Hipmi mendorong adanya Satgas lintas kementerian agar penindakan konsisten, bukan hanya razia sesaat,” tegasnya.
Oleh karenanya, Anggawira menilai arah kebijakan ekonomi Presiden Prabowo Subianto yang menekankan kemandirian industri dan substitusi impor sudah berada di jalur yang benar.
Apalagi, lanjut dia, Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara selain China dan India yang memiliki rantai industri tekstil lengkap, mulai dari serat hingga produk jadi, sehingga potensinya sangat besar untuk dikembangkan.
"Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang memiliki rantai industri tekstil lengkap. Ini adalah modal strategis," kata Anggawira.
Pemerintah menegaskan bahwa praktik thrifting atau penjualan pakaian bekas impor secara aturan tidak diperbolehkan, dan masyarakat diminta untuk tidak lagi membeli produk tersebut.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Perdagangan menunjukkan nilai impor untuk kategori barang tekstil jadi, pakaian bekas, dan gombal pada periode Januari hingga Juli 2025 mencapai 78,19 juta dolar AS.
Angka ini meningkat 17,33 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Negara pemasok utama meliputi China, Vietnam, Bangladesh, Taiwan, dan Singapura.
Kementerian Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tengah menyiapkan skema kemitraan antara pedagang thrifting dan pelaku UMKM yang sudah mapan, sebagai strategi transisi usaha menyusul pelarangan impor baju bekas ilegal.
Baca juga: Menteri UMKM ungkap impor baju bekas naik dari 7 ton jadi 3.600 ton
Baca juga: Menteri UMKM tutup pedagang/toko "thrifting" di "e-commerce"
Baca juga: Prabowo minta UMKM siapkan produk pengganti usaha thrifting
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































